Monday, December 14, 2015

Telepon Genggam




Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya.
Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya?
Mata: kristal waktu yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya
ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.

Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas
malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur,
tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal
gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi
sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar
dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak
ingin ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin
berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo
Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.

Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya
sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan
telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin
ditinggalkan.

Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap
salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan
dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan,
itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda
untuk dicocokkan dengan kodoknya.

Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi
nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti
hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya,
rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena
merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor
perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.

Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya
gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga
kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba
memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih
lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya
meronta-ronta dalam cengkeramannya.

Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main
layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya
terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak
perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar
yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat
yang tak terlihat waktu.


Oleh :
Joko Pinurbo

No comments:

Post a Comment