Hingga dewasa saya tak pernah
tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh dan
dibesarkan Ibu tanpa kehadiran
seorang lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu pernah mengaku bahwa
dulu ia memang suka kencan dengan
banyak lelaki, tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang
tercetak di rahimnya, kemudian
terbit menjadi saya.
Ibu tak pernah menyebut dirinya
perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami
kelembutan cinta seorang ibu soal
itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman
penyair iseng-iseng bertanya
apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan
terang atau hubungan gelap, saya
menganggap dia bukanlah pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan
penyair pernah bertanya,
"Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam
kata-katamu?"
Sudah ada beberapa lelaki
misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-masing
menyatakan perihal cintanya yang
tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga
merasa bangga terhadap saya.
Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya
lebih suka membiarkan diri saya
tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas
terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya
ia sering minta dibacakan
sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata
berkaca-kaca. Entah mengapa,
beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya:
saya ini sebenarnya anak siapa?
Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi,
sambil mengelus kepala saya, ia
menjawab hangat: "Anak seorang perempuan!"
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment