untuk Joni Ariadinata
Setiap pulang kampung, aku selalu
menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon
beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang
aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka
tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak,
lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke
sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas
makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya
dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua
itu bilang tenang tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak
tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi
merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah
sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang
dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu
mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu,
termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang
becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang
matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya
yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura
jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak
tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur
nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya
sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru
bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja,
malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang
kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau
di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment