Sunday, December 13, 2015

Ibu Yang Tabah




Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci
dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu
sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti
menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya
yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.

Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan
menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam
ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila
mereka sakit.

Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis.
Bila anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung
airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan
tabungan airmataku.”

Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati
tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus
dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi
kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya berulang-ulang.

Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan.
Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar
televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah
tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut
trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak
ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”


Oleh :
Joko Pinurbo

No comments:

Post a Comment