Setiap pagi penjual buah itu
lewat di kampung kami,
keluar masuk gang sambil
melantunkan kata-kata hafalan:
Bukan buah sembarang buah, buah
saya manis rasanya.
Dara-dara remaja senang sekali
mendengarnya;
mereka cepat-cepat berdiri di
depan cermin dan menyaksikan
bahwa pohon waktu mulai
berbuah.
Ibu-ibu muda dengan gembira
merubungnya dan merasakan
betapa pohon cinta sedang lebat
buahnya.
Hanya perempuan-perempuan tua
suka tersenyum kecut
dan kadang ada yang menangis
sambil merengek manja:
Kembalikan buah saya kembalikan
buah saya.
“Pisangnya masih, Pak Adam?”
demikian ibu-ibu setengah baya
suka bertanya, dan sambil
tersenyum bangga penjual buah itu
menggoda: “Aduh, kok pisang
lagi yang diminta!”
Bukan buah sembarang buah, buah
saya manis rasanya.
Kata-kata ini terus saja
diulangnya meskipun segala buah
yang dijajakannya sudah terbeli
semua.
Sudah seminggu ini Pak Adam tak
muncul di kampung kami.
Kata seorang nenek yang
diam-diam mengaguminya,
penjual buah itu tampaknya
sudah mendapatkan buahnya buah
yang belum tentu manis rasanya,
yang mungkin pahit rasanya.
“Bukan buah sembarang buah,”
ujar seorang perawan tua
sambil menikmati apel yang
tampak merah dagingnya.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment