Tengkoe Amir Hamzah yang bernama
lengkap Tengkoe Amir
Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari1911 – meninggal
di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35
tahun) [a] adalahsastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari
keluarga bangsawanMelayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara, ia dididik di Sumatera dan Jawa. Saat berguru di
SMA di Surakartasekitar 1930,
pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman
sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah
hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap
dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera
untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton.
Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya.
Setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tahun 1945,
ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana, pada tahun
pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalamperistiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
Amir mulai
menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang
paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan
perjalanan ke Jawa. Menggambarkan
pengaruh dari budaya Melayuaslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50
puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai
karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut
mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali
ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan
dalam dua koleksi, Njanji Soenji(EYD: "Nyanyi
Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah
Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian
sebagai buku yang diterbitkan.
Puisi-puisi Amir
sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik
batin yang mendalam.Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional,
dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah
tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik
erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang
lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap
lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair
Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja
Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas
internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.[1]
Riwayat
hidup
Masa kecil
Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, putra bungsu
dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa.
Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang
berkedudukan di Binjai. Berdasarkan
silsilah keluarga istanaKesultanan
Langkat,
Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia
terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir
diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir
sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir
pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama
kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun
seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.[2]Amir Hamzah
menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir
kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang
bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir di masa kecilnya menggambarkan bahwa
Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Diketahui bahwa
Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda.[3] Dia tetap seorang
Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode di mana ia menyelesaikan studi
formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah
Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916,[4]sementara biografer M. Lah Husny
menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun 1918.[5] Di sekolah dasar
berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis[6] dan mendapat
penilaian-penilaian yang bagus; [7] dalam biografi
yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki
"abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi
daripada mereka.[3]
Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari
sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO, sekolah
menengah pertama) di sana.[10] Setelah
menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal
dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja[b] Bun.[11] Husny menulis
bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka,[12] namun Dini
menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia.[13] Karena orang
tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian
pergi ke ibukota kolonial Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk
menyelesaikan studinya.[12]
Belajar di Jawa
Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian,
dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus.[14][15] Setelah tiba di Batavia, ia masuk di
Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya.[12] Anthony H. Johns
dari Australian
National University menulis
bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai
Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir
juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera.[17] Saat periode ini
pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati
setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan
Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi),[18] sementara Dini
berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir
naik kapal Plancus, saat
ia sangat rindu dengan ayah bundanya.[19]
Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan
singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang
dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta , dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang
hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi
yang dimiliki oleh residen Surakarta.[21] Kemudian ia bertemu dengan beberapa
orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn
Pane dan Achdiat Karta Mihardja;[22] mereka segera menemukan bahwa Amir
adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar
tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa
"... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"),
tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu
dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.[23]
Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan
bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial
rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda
berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa
Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.[24]Tahun 1930 Amir
menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya
dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu,
"Garoeda Merapi".[25] Di sekolah dia
kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya.[26] Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari
sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah
satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir
mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa.[27] Mereka segera
bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.[28]
Ibunda Amir
meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun
tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar
di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar
yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun
1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya,[29] mengambil
pekerjaan paruh waktu sebagai guru.[30] Pada awalnya,
hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera
melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota
yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini
memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam[31] – ketika
orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang
untuk bertemu.[32]
Tahun tersebut,
dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan
"Maboek ..." (EYD:"Mabuk"), diterbitkan dalam edisi Maret
majalah Timboel. Delapan
karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah,[33]tiga puisi lainnya, dua potong
puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa
tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September
1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik
"Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik
sastra Pandji Poestaka), mengundang
Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen.[35] Amir menerima,
dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35] Sejumlah lima
puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu,
termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan
Sastera".[36] Setelah beberapa
bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933,[37] dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru
ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana,[38] sementara Amir
menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.[34]
Pada pertengahan
1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan
dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi
siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.[39] Meskipun
menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam
gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin
meningkat.[40] Ia terus
melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk
serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan
terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai
1935.[34] Namun studi
hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.[41]
Kembali ke Langkat
Belanda, khawatir tentang kecenderungan
nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke
Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir.
Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas
mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatera. Setelah tiba di
Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan
Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia
temui sebelumnya.[41] Sebelum
pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah
terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari.[42] Beberapa minggu
kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah
upacara mewah.[41] Sepupunya,
Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang
upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.[43]
Sekarang seorang
pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran
Indra Poetera.[44] Dia tinggal
bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah
adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan
ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera.[c] [45]
Menurut Dini,
Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia
telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya,
pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album
dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya [46] dan sering
mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya.[47] Sebagai seorang
pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah
administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana.[48] Ia sempat
mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah
perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.[49]
Meskipun Amir
hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa,[50] puisi-puisinya
yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi
pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan
dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah
tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari
Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan.[34] Semuanya kemudian
diterbitkan sebagai buku.[51] Sebuah buku
terakhir, Sastera Melajoe
Lama dan Radja-Radjanja (EYD:"Sastra
Melayu Lama dan Raja-Rajanya"), diterbitkan di Medan pada tahun 1942,
terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.[34]
Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia
Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat,
divisi Stadswacht (Angkatan Garda)
dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe
Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya
oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang
lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942,
Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya.
Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap
oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari
Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang
berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan
sensor di Medan.[52] Dalam posisinya
sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani
untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.[50]
Pasca-kemerdekaan dan kematian
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera
dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara
Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera,
dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil
pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan
kantornya di Binjai;[53] Amir menerima
posisi tersebut dengan siap sedia,[54] kemudian
menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk
meresmikan divisi lokal pertama dariTentara Keamanan Rakjat (yang kelak
menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53] membuka pertemuan
berbagai cabang lokal dari partai politik nasional,[55] dan mempromosikan
pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai
pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil.[56] Pada awal 1946,
rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan
pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera,[57] dan bangsawan
daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.[58] Pada tanggal 7 Maret1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dariPartai Komunis Indonesia, sebuah kelompok
(Pemuda
Sosialis Indonesia)
dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir
dilucuti darinya dan ia ditangkap;[59] sementara
Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama dengan
anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah
perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10
kilometer di luar Binjai.[59] Kesaksian yang
muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir,
diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.[61]
Potongan tulisan
Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian
ditemukan di selnya:[62]
Wahai maut,
datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita
Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan
lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan
tersebut;[d][63] beberapa saudara
Amir juga tewas dalam revolusi tersebut.[64] Setelah
dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi
oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan
dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?"
selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut.[65] Pada tahun 1948
sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan
diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil
diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.[66] Pada November
1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat.[67] Atas
jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.
Pengaruh
Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton
Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa
tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja."
(EYD:"menjadi darah dan daging baginya").[68] Sejak usia muda
ia telah diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis dan syair, baik
mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.[69] Seperti ayahnya
sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang Tuah,Syair Siti Zubaidah Perang
Cina,
dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan
mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [68] dan setelah
dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya
tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatera Timur yang merenggut nyawanya.[69]
Sepanjang
pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab, Persia, dan sastra Hindu.[70] Ia juga
dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:[71] puisi-puisi
terjemahan dalam Setanggi Timoer misalnya,
memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China), Fukuda Chiyo-ni (Jepang), dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini
tidak dibacanya dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.[72] Kritikus sastraMuhammad Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan
sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari soneta dan penyair neo-romantis Belanda, paraTachtigers;[73] Johns
menyimpulkan hal yang sama.[74] Namun pakar
sastra Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip "Lenteavond"
dari Willem Kloosdalam artikelnya
tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.[75]
Banyak penulis telah berkomentar tentang
pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin[76] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,[77] adalah termasuk
dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir adalah seorang Muslim ortodoks murni,
dan itu ditunjukkan dalam karyanya. Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat
jelas dalam perkataan Amir tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai
sesamanya, sebuah tema yang ditemukan dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi sebagai
tuan untuk hamba Amir.[77] Johns menulis
bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis
renungan murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme Islam".[78] Pengamat lain,
seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar sastra IndonesiaAbdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir dipengaruhi oleh
Sufisme.[77] Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari posisi
yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai
kekasih sebagai indikasi pengaruh Sufi.[79] Pada akhirnya,
penyair Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi Sunyi karya Amir bisa
disebut "puisi terselubung" karena pembaca tidak dapat memahami karya
Amir tanpa pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.[80]
Beberapa upaya
juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif
Kekristenan. Dalam menganalisa "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke
beberapa aspek dari puisi yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk
penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak diperbolehkan dalam Islam
ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep
tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab,
mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14.[81] Dalam puisi lain,
"Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan
kalbunya", Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati
Firaun dalam Kitab Keluaran.[e][82]
Jassin menulis
bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih wanita,
dalam Buah Rindu disebut sebagai
"Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin beropini bahwa wanita
(satu atau lebih) tak pernah disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka
adalah kunci.[83] Husny menulis
bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh
kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah pertunangan
mereka dibatalkan.[84] Mengenai dedikasi
tiga-bagian dalam buku tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya /
Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi",[g][85] Mihardja menulis
bahwa Soendari telah dikenali setiap teman sekelas Amir, ia menganggap Soendari
sebagai inspirasi Amir, layaknya "Laura terhadap Petrarch, Mathilde
terhadap Jacques Perk".[86] Kritikus Zuber Usman juga menemukan pengaruh Soendari pada Nyanyi Sunyi, berpendapat
bahwa perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat dengan Tuhan,[87] sebuah pendapat
yang diulang oleh Dini.[88] Burton Raffel
menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting Sanggul
melayah rendah / sekaki sajak seni sedih"[89] ("sebuah
bunga mengambang di simpul rambut longgar / melahirkan puisi sedih saya")
sebagai panggilan untuk sebuah cinta terlarang.[90] Dini berpendapat
bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan penggunaan istilah Jawa yang sering
dalam tulisan Amir.[43]
Karya
sastra

Daftar karya Amir HamzahSecara
keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas
potongan puisi prosa, dua belas
artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi
puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat
puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku;[34] Johns menulis
bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya
aslinya.[91]
Sebagian besar
tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun
beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalamTimboel dan Pandji Poestaka.[34] Tidak ada karya
kreatif-nya yang bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap
individual puisi ditulis.[92] Meskipun
demikian, terdapat konsensus umum bahwa karya-karya yang termasuk dalamNyanyi
Sunyi ditulis setelah
karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan
terakhir.[93] Johns menulis
bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan
kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir
kala tulisannya berkembang.[94]
Jassin menulis
bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-karyanya, meskipun
menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya
rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi
Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta
api, telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih
utuh..." dalam puisinya. Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir,
"Membatja sadjaknja diruang fantasi kita tidak terbajang lukisan
seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan seorang muda jang
berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita tidak melihat
seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian tradisional
Melayu".[95] Mihardja mencatat
bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman sekelas mereka, dan
banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran"
("mencurahkan hati atau pikiran mereka") dalam bahasa Belanda, atau jika
"... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda"
("mampu membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.[96]
Karya Amir sering
berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama
ditunjukkan dalam banyak puisinya.[73] Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan
puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam.[97] Pada setidaknya
satu cerita pendek, ia mengkritik pandangan tradisional bangsawan dan
"merongrong representasi tradisional karakter wanita".[98] Ada beberapa
perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya,[99] dibahas lebih
lanjut di bawah ini.
Njanji Soenji

Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi
Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi bulan
November 1937,[100] kemudian
diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun 1938.[51] Koleksi ini
terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul,[101] termasuk puisi
Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua".
Jassin mengklasifikasikan delapan karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga
belas yang tersisa sebagai puisi biasa.[100] Meskipun ini
adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan
yang baik dalam puisi ini,[102] konsensus umum
adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis
sebelumnya.[103] Penyair Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang
ditulis antara 1933 dan 1937,[104] sementara Teeuw
menanggali puisi tersebut antara tahun 1936 dan 1937.[105]
Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus
pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan Tuhan terlihat di mana-mana di
seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu Jua".[106] Jassin menulis,
di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan
dirinya dan memprotes kemutlakan Tuhan,[107] tetapi nampak
menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai boneka untuk
kehendak Tuhan.[108] Teeuw merangkum
bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada.[109] Jassin menemukan
bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan
duniawi Amir.[110] Namun Johns
menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan sedikit penghiburan dalam Tuhan,
karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang dapat membuat sebuah
pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya,
ia nampak menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatera dan kemudian
memberontak melawan Tuhan.[111]
Boeah Rindoe

Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah
Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi Juni 1941,[112] kemudian
diterbitkan sebagai buku olehPoestaka Rakjat di akhir tahun
itu.[51] Koleksi ini
terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul;
satu, "Buah Rindu", terdiri dari empat bagian, sementara yang lain,
"Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya dalam koleksi ini
telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalamPandji
Poestaka.[112] Koleksi ini,
meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya
dianggap telah ditulis sebelumnya.[103] Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga bertanggal
di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa;[104] Koleksi ini
memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo
(Surakarta) -Jakarta.[17]
Teeuw menulis
bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan,[113] yang diperluas
oleh Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di
Sumatera dan satu yang di Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang
disebutnya sebagai "kekasih".[114] Teeuw menulis bahwa
kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih
duniawi, didasarkan pada realitas;[99] Jassin mencatat
perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi Sunyi, dengan
penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan eksplisit
mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewaHindu, Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi
cinta.[114]
Gaya
penulisan
Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan
untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah
tertentu.[115] Diksi yang
berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana sebagai unit dasar dan sesekali
menggunakan aliterasi dan asonansi.[116] Pada akhirnya dia
lebih bebas dalam penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[106] Jennifer Lindsay
dan Ying Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan
"kemewahan ekspresi, kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[117] Siregar menulis
bahwa hasilnya adalah "... permainan kata jang indah."[118] Teeuw menulis
bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu, mencampurkan
pengaruh sastra timur dan barat,[116] sementara Johns
menulis bahwa "kejeniusannya sebagai seorang penyair terletak dalam
kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu yang
kala itu telah terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan
kosakata Melayu tradisional yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan
jelas dan kehidupan."[119]
Pilihan kata-kata
Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang hanya sedikit menggunakan
istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari bahasa Nusantara lainnya,
terutama jawa dan Sunda;[120] pengaruh yang
lebih dominan di Nyanyi Sunyi.[121] Dengan demikian,
cetakan awal Nyanyi Sunyi danBuah Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut.[73] Teeuw menulis
bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum dalampantun yang tidak akan
dimengerti oleh pembaca asing.[122] Menurut
penerjemah John M. Echols, Amir adalah seorang penulis yang memiliki kepekaan
sangat besar, yang "bukan seorang penulis produktif tetapi prosa dan
puisinya berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun karyanya sulit,
bahkan bagi orang Indonesia."[97] Echols menyanjung
Amir karena menbangkitkan kembali bahasa Melayu, memberikan nafas kehidupan
baru ke dalam sastra Melayu pada 1930-an.[123]
Secara
struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di
kemudian hari. Karya yang disusun dalam Buah Rindu umumnya mengikuti pantuntradisional dan
gaya syair empat baris
dengan rima ekor, termasuk banyak dengan kuplet berima;[116] namun beberapa
karyanya, menggabungkan keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau
kata-kata lebih dari yang diterima umum secara tradisional, sehingga
menghasilkan ritme yang berbeda.[124] Meskipun
karya-karya awal Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari, Teeuw
menulis bahwa karya-karya tersebut telah mencerminkan penguasaan penyair itu
dari bahasa dan dorongan untuk menulis puisi.[125] Karya-karya dalam
antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti "menangis",
"duka", "rindu", dan "air mata", serta kata-kata
seperti "cinta", "asmara", dan "merantau".[126]
Pada kala Amir
menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi Sunyi, gayanya telah
bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk tradisional,
melainkan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda: Delapan karyanya
mendekati puisi prosa dalam segi bentuk.[127] Chairil Anwar
menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam koleksi ini sebagai
bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi
singkat" yang berangkat dari "daya rusak" puisi tradisional
Melayu yang berbunga-bunga.[128]
Penghargaan
dan pengakuan umum
Amir
telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan
pengakuan dari pemerintah Sumatera Utara segera setelah kematiannya.[129]Pada
tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan
dan Piagam Anugerah Seni.[130] Pada tahun 1975 ia
dinyatakan sebagai salah satuPahlawan Nasional Indonesia.[131] Sebuah
taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di
dekat Monumen Nasional.[70] Sebuah masjid di Taman
Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan
untuknya.[132] Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk
diMedan,[133] Mataram,[134] dan Surabaya.[135]
Teeuw
menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional
dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar
menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga Baru",
mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang
disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru";[128]namun, Anwar
tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.[136] Balfas
menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli
era mereka".[137] Karya Hamzah, khususnya "Padamu
Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu
inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi
Yanti setelah 12 Menit.[138]
Jassin
telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang
dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut.[1] Sebagai
penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:
"... Amir bukanlah seorang
pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi maupun prosanja.
Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh
keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan
kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia
merindu tak habis2nja, pada zaman jang silam, pada bahagia, pada
'hidup bertentu tudju'. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan
membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair2 Pudjangga
Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang
tak diragukan tjintanja pada tanah airnja."
—H.B. Jassin, Jassin (1962)
Catatan
kaki
1.
^ Ada dua versi untuk tanggal lahir ini. Tanggal resmi
yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911,
tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakak Amir, Abdoellah Hod
menyatakan bahwa penyair ini lahir pada tanggal 11 Februari 1911.
Artikel ini menggunakan tanggal yang paling umum, yaitu yang diakui pemerintah.
2.
^ Atau juga Aje.
3.
^ Kehamilan lain berakhir dengan keguguran (Dini
1981, hal. 113). Dua anak selanjutnya lahir mati (Dini 1981,
hal. 122), sedangkan kehamilan terakhir pasangan itu berakhir dengan
keguguran setelah kematian Amir.
4.
^ Dilaporkan bahwa Amir dibunuh oleh seorang mantan
pengawas yang bernama Yang Wijaya, yang kemudian diadili karena perannya
dalam revolusi tersebut dan dihukum dua puluh tahun penjara. Kemudian diberikan amnesti,
Wijaya meninggalkan penjara dalam keadaan kesehatan mental yang buruk (Dini
1981, hal. 160–61).
5.
^ Dalam Islam, Firaun mengeraskan sendiri hatinya (Jassin
1962, hal. 36).
6.
^ "Haroem Ramboetmoe", "Dalam
Matamoe", "Maboek...", "Soenji",
"Koesangka", "Boeah Rindoe", "Toehankoe Apatah
Kekal?", "Tjempaka", dan "Berdiri Akoe".
7.
^ dalam versi Indonesia dari Ramayana,
Sendari (juga Sundari) adalah istri pertama Abimanyu.
No comments:
Post a Comment