Di ruang tamu ini, sekian tahun
silam, saya menerima
seorang pemuda kurus kering
yang datang menawarkan akik.
Saya tidak suka akik. Lebih
tidak suka lagi pada bualannya
tentang kesaktian akik.
Seberapa pun hebatnya,
akik hanya akan melemahkan
iman.
Tanpa basa-basi saya minta anak
muda yang tampak
kelaparan itu segera angkat
kaki.
Ia pun pamit dengan penuh
ketakutan
dan sambil pergi matanya tetap
memandang sayu kepada saya.
Tentu bukan karena akik kalau
rumah itu terpaksa saya jual
kepada seseorang dan orang itu
kemudian menjualnya
kepada seseorang yang lain,
demikian seterusnya.
Rumah itu memang angker,
tidak pernah bikin tenteram
penghuninya.
Kini sayalah yang duduk
terlunta-lunta di ruang tamu ini.
Wah, mewah benar bekas ruang
tamu kesayanganku.
Ada pendingin udaranya, ada
cermin besarnya,
ada pula lukisan tidak jelas
yang pasti sangat mahal harganya.
Cukup lama saya menunggu, tapi
si empunya rumah
tidak juga keluar menemui saya.
Saya bermaksud
menawarkan obat kuat yang
dibuat khusus untuk orang kaya.
Dengan jengkel saya mengintip
ke ruang tengah.
Wah, si empunya rumah sedang
sibuk bergoyang-goyang
mengikuti irama musik yang ia
bunyikan keras-keras.
Setelah saya panggil
berulang-ulang dengan suara lantang,
barulah ia sudi menemui saya.
Tidak salah lagi, dia adalah si
bekas pedagang akik yang dulu
menghiba-hiba di hadapan saya.
Sayang ia pura-pura tidak
pernah kenal saya.
“Masih jualan akik, Pak?” saya
coba memancing reaksinya.
Ia menjawab ketus: “Jangan
bicara akik dengan saya.
Akik hanya akan melemahkan
iman.”
Setelah menimang-nimang seluruh
jenis obat
yang saya bawa, dengan sinis ia
berkata:
“Maaf, tidak ada yang cocok
dengan kapasitas saya.”
Kemudian ia memerintahkan saya
segera angkat kaki
dan sebelum saya sempat pamitan
ia sudah buru-buru masuk
ke ruang tengah untuk
melanjutkan kesibukannya.
Suatu hari saya mendengar kabar
bahwa si bekas penjual akik
yang mulai sombong itu sedang
terkapar di rumah sakit,
terkena penyakit berat yang
entah apa namanya.
Saya menyempatkan diri
menjenguknya.
Duh, kasihan juga melihat ia
terbaring lemah dengan mata
kadang terpejam kadang terbuka.
Ketika di kamar sakitnya hanya
tinggal kami berdua,
saya bisikkan di telinganya:
“Rasain lu!”
Serta-merta matanya membelalak
dan dengan gagah
ia menimpal: “Prek lu!”
Cukup lama kami beradu pandang,
dan kami sama-sama
berusaha tidak tertawa atau
malah mengeluarkan air mata.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment