Kadang ingin sangat aku pulang
ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu
senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok
wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di
telapak tangan.
Halte. Aku terdampar di sebuah
halte.
Menunggu bus yang sebenarnya
telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak
cepat sampai
ke arah jantung atau erangan
bisu.
Lihatlah, setiap orang memasang
halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak
henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang
bakal datang
membawanya pulang atau mungkin
pergi jauh sekali.
Demikianlah musafir: kita takut
menjadi tua
namun juga tak pernah bisa
kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi
kelahiran
di saat halte mau membimbing
kita ke peristirahatan.
Rindu. Aku ini memang selalu
rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta
rumah.
Di saat lelap sering kulihat
bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk
dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali
kelambu mimpi.
Halte. Aku ingat sebuah halte
di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian
dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kaukirimkan
aduhan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya
kautujukan persediaan waktu.
Tak bosan-bosan. Jendela selalu
membukakan dirinya
untuk dimasuki dan
ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di
atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu:
selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.
Mengapa kita takut pada
ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa
diabadikan?
Tengah malam kita sering
terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.
Andaipun langit memperpendek
batas,
tak berarti jangkauan begitu
saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah
meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau
menyembunyikan pesanmu.
Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati
usia.
Burung-burung pipit mengurung
senja,
matahari beringsut pada
lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di
pelupukmu
dan sebuah himne menggema di
lintasan alismu.
Berapa lama kata-kata
berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara
tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal
dan bulan.
Garis-garis tangan tak
menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi
ruang.
Berapa lama ucapan tak mau
bungkam?
Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan
perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau
dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja
hijau.
Kematian dienyahkan ke
bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di
lubang persembunyian.
Katakan pada ibu, si buyung mau
lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu
menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah
petualangan.
Aduh sayang, jarak itu
sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan
dilahirkan oleh perasaan.
Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput
mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing
bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan
menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik
berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk
pesta persembahan.
Lalu kau merapat ke kaca
almari:
mengganti baju, menyempurnakan
kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai
sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke
kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah
sakit.
Baju usang yang kusayang
tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah
pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang
retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.
Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat
peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke
sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung
rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari
ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam
bagimu pasien abadi.
Suatu hari aku ingin mengajak
si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak
sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama.
Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana
aku pulang.
Senja hampir layu.
Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun
siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa
kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi
diburu musim
yang kehilangan cuaca.
Jika benar air mancur itu tak
ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan
kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan
malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum
surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia
waktu.
Halte. Aku terdampar kembali di
sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan
lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk
pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang
jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis
matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat
keberangkatan.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment