Demonstrasi telah bubar.
Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap,
gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang
massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat
ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari
serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera,
spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum
dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik
yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan,
kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat
arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan,
sendirian.
Lima peleton pasukan
mengepungnya.
“Sebutkan nama partaimu.”
“Saya tak punya partai dan tak
butuh partai.”
“Lalu apa yang masih ingin kaulakukan?
Mengamuk, mengancam,
menggebrak, melawan?”
“Diam, itu yang saya inginkan.”
“Lakukan, lakukan dengan tertib
dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi
senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke
rumah
yang teduh tenang.”
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin
terus bicara,
menghardik, menghentak,
meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak:
“Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap,
sesungguhnya.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment