Pagi-pagi sekali loper koran
itu sudah nongol di depan pintu,
menaruh koran di pangkuanku
seraya berpesan:
“Jangan percaya koran. Koran
cuma bohong-bohongan.”
Dan setiap akhir bulan, saat
menerima uang langganan,
ia tak pernah lupa
mengingatkan: “Jangan percaya koran.
Koran cuma bohong-bohongan.”
Suatu siang loper koran yang
tak pernah membaca koran itu
mati ketabrak mobil wartawan.
Tubuhnya digeletakkan
di pinggir jalan dan hanya
ditutupi selembar koran.
Banyak yang pura-pura sibuk
mengurusnya dan, tentu saja,
ada yang diam-diam mengincar
dompetnya.
Aku tak tahu siapa yang
mengantar pulang jasadnya,
tapi setiap membaca koran aku
seperti sedang mengantar
jenazah loper koran yang malang
itu, menyusuri gang
demi gang di tengah
perkampungan kata-kata yang bising
dan pengap, dan setelah
muter-muter seharian akhirnya
kutemukan sedikit tempat untuk
menguburkannya.
Setiap Lebaran aku menyempatkan
diri ziarah ke makamnya,
menyusuri lorong-lorong gelap
di tengah kuburan kata-kata
yang luas dan lengang dan
kudapatkan nisan kecilnya
hampir tertutup ilalang. Tak
ada bulan di atas kuburan.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment