Ia melewati jalan yang sudah
bosan
menghitung langkahnya.
Rambutnya menyimpan
kunang-kunang.
Matanya ingin menggapai
bintang-bintang.
Tak ada yang benar-benar
mengenalinya
selain angin yang masih
menyebutnya perempuan.
Perempuan itu tak mau menangis.
Air matanya sudah hanyut di
sungai.
Dan meskipun sungai
berulangkali meriuhkan keperihan,
arus air tak mau kembali
mengulang detak jam.
Malam sekarat di balik gaun
transparan
dan sisa waktu dilumatkan di
ujung lengan.
Letupkan penyanyi, letupkan
nada terakhir
yang belum sempat dihunjamkan.
Siapa tahu dada montok itu
masih merindukan jeritan.
Tersaruk-saruk ia menyeret
bayangan tubuhnya.
Gerimis hitam mengguyur
wajahnya yang beku
sehingga bedak dan lipstik
luntur
melumuri gaunnya yang putih.
Rambut coklatnya meleleh pekat.
Tapi singa luka itu tak mau
pedih.
Mungkin hatinya merintih.
Maka kunang-kunang menggeremang
di rambutnya,
bintang-bintang berkerlapan di
matanya.
Ia menyanyi dan menari dan
pinggulnya yang hijau
mengibaskan bayangan hitam
orang-orang mati.
Tersuruk ia di sebuah tikungan
dan para peronda mau membawanya
ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram
nyalang
dan para lelaki dihardiknya
pergi.
Hai perempuan, rumah mana bakal
kautuju?
Awas hati-hati, di ujung jalan
banyak polisi.
Ah sialan, dasar pemberani,
sudah luka
masih juga menggoda. Tampaknya
ia percaya
sebuah rumah setia menanti.
Seperti tamu asing, ia berhenti
di depan pintu besi.
Plat nomor telah rusak, tak
lagi mencantumkan angka.
Ia ragu apakah benar itu
rumahnya.
Tapi ia masih ingat beha usang
yang tergantung
di atas pintu, tanda sebuah
dunia
atau sepenggal kehidupan masih
menunggu.
Pintu besi telah mengunci diri,
menutup hati bagi tamu yang
ingin singgah.
Daripada kaku dibalut embun
pagi,
dipanjatnya pagar halaman
berduri.
Seekor anjing menyalak nyaring
menggonggongi bau keringatnya
yang asin.
Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh
kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa
samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus
mengenalinya kembali.”
Ia tertegun. Dadanya mengkerut
disepak dentang lonceng jam
tiga pagi.
“Ah pintu, engkau lebih
mengenal rumahku
ketimbang aku sendiri yang
saban waktu merindukannya
dan kemudian meninggalkannya.
Barangkali studio-studio suara
dan panggung-panggung hiburan
telah membuatku jadi pelupa,
jadi serba alpa.”
Perlahan ia melangkah ke ambang
pintu.
Angin jahat menyingkap ujung
gaunnya yang tipis.
Kakinya yang lembab melekat di
lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa
dunia jadi lain.
Di dinding hitam sebuah topeng
terkekeh-kekeh,
menyeringai menertawakan tamu
asing
yang bertandang ke rumahnya sendiri.
Apakah ada malaikat yang selalu
membawa anak kunci?
Kamar sudah menganga sebelum ia
buka pintunya.
Dan di atas meja rias yang
porak poranda
sebuah boneka masih
menari-nari.
Astaga, ranjang hitam
menggoyang-goyangkan diri.
Kelambu telah habis dibakar
mimpi.
Sebuah radio tertidur pulas di
bantal biru,
tak henti-hentinya mengigau dan
meracau.
Wah, tampaknya ia tengah
bercumbu dengan orang mati
yang menciptakan gelombang
siaran dinihari.
Ah perempuan, yang merindukan
kebangkitan musim semi,
kini tubuhmu tegak di hadapan
cermin retak.
Bibirmu hangus dan mengelupas.
Berdarah.
Berdarah-darahlah leher hijau
yang diterkam musim panas.
Kau mengaduh. Aduh. Kepada
siapa kau mengaduh?
Kepada tatapan yang hancur
luluh?
Kepada cermin yang tak lagi
utuh?
Wah, jidatmu yang legam
dilayari kupu-kupu hitam,
diarungi cicak-cicak hitam.
Serba hitam.
Perempuan itu sama sekali tidak
gila.
Tidak lupa pada jagad kata yang
dihuninya seorang diri
tanpa cinta. Tidak sangsi dan
benci pada janji-janji baik
yang diucapkan para kekasih
yang mengurungnya
dalam lingkaran ilusi. Ia tidak
gila.
Hanya sepi berkepanjangan,
barangkali.
Dan ia benar-benar perempuan.
Terbukti ia tabah,
tidak mudah menyerah pada
keinginan murahan
untuk mencekik leher, memotong
urat nadi.
Memang ia mengambil pisau dari
laci almari,
tapi bukan untuk bunuh diri.
Ia cuma ingin menyembelih
bayangan-bayangan hitam
yang berbondong-bondong di
dinding legam.
Sebuah kamar bisa menjadi salon
kecantikan.
Di sana ia bersolek, mengganti
model rambut, alis
dan bulu mata agar setiap orang
tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia
bisa mendapatkan cinta baru
di atas kecantikan lama.
Demikian pula para lelaki
akan mendapatkan kejantanan
kembali
pada tatapan yang sesilau
kerlip api
setelah sekian lama dunia
mereka miliki sendiri.
Ah lelaki, wajahmu tersipu malu
disambar rayuan baru.
Lalu ia menyanyi di depan kaca
almari.
Lagu-lagu lama disenandungkan
kembali.
Kadang lebih merdu dari yang
dinyanyikan di masa lalu,
lebih baru dari lagu-lagu
terbaru.
Perempuan, kau memang hanya
berlomba dengan waktu.
Tak usah ditunda lebih lama.
Bibir pedas sudah siap menerima
lumatan.
Dan jika dada kenyal itu
menggembung mengempiskan
hasrat-hasrat terpendam, kamar
sempit siap menampung
gemuruh topan dan lalu badai
kehampaan.
Tapi tak ada saat untuk
menangis menggigit-gigit tangan.
Penyanyi, jangan meraung
memukul-mukul dinding.
Ranjang hitam sudah menggeliat
minta dekapan.
Cermin retak sudah kembali
berdandan.
Tanggalkan gaun usang, cobalah
menggelinjang.
Dentang lonceng jam tiga pagi
tergelak-gelak
menyaksikan tubuhmu, sakitmu,
yang telanjang.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment