Mei tahun ini kusempatkan
singgah ke rumah.
Seperti pesan ayah: “Nenek
rindu kamu, pulanglah!”
Waktu kadang begitu simpel dan
sederhana:
Ibu sedang memasang senja di
jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di
beranda.
Ayah sedang menjemputku entah
di stasiun mana.
Siapa di kamar mandi?
Terdengar riuh anak-anak sedang
bernyanyi.
Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di
ruang doa,
ditunggui boneka-boneka lucu
kesayangannya.
“Hei, bajingan kita pulang!” seru
boneka singa
yang tetap tampak perkasa, dan
menggigil saja ia
saat kubelai-belai rambutnya.
Ayah belum juga datang,
sementara taksi
yang menjemputku sudah menunggu
di depan pintu.
Selamat jalan nek, selamat
tinggal semuanya.
Baik-baik saja di rumah. Salam
untuk bapak tercinta.
Di jalan menuju stasiun kulihat
ayahanda
sedang celingak-celinguk di
dalam becak, wajahnya
tampak lebih tua; becak melaju
dengan sangat tergesa.
Dari jendela taksi aku melambai
ke ayah,
sekali kukecup telapak
tanganku, kulambaikan;
ia pun mengecup tangannya lalu
melambai ke aku
sambil berpesan hati-hati di
jalan ya.
Begitu simpel dan sederhana,
sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh
dari mataku.
“Almarhumah nenekmu kemarin
masih sempat
menumpang taksi ini,” ujar pak
sopir yang pendiam itu,
yang ternyata bekas guruku.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment