Penagih utang itu datang tengah
malam.
Ia duduk dengan sopan, kedua
tangan ditangkupkan,
baju batiknya yang murahan
tampak terlalu kedodoran
untuk tubuhnya yang kurus dan
kusam.
“Langsung saja, ada perlu apa?”
aku menghentak.
Ia terperangah, badannya
mengkerut, dan kopiahnya
yang longgar seakan bergeser
dari letaknya.
“Maaf, kalau tidak salah ini
sudah jadwalnya.”
“Jadwal bayar utang, maksudnya?
Sabarlah, saya sedang
banyak keperluan. Bapak lihat
sendiri brankas saya
sedang ludas, kolam renang
belum selesai saya perbaiki,
toilet baru akan saya lapisi
emas, isteri belum sempat
saya tambah lagi. Mohon
pengertian sedikitlah!”
Tamu itu berkali-kali minta
maaf, kemudian permisi.
Sebelum meninggalkan pintu, ia
sempat berbisik
di telingaku: “Tidak bikin
keranda emas sekalian Pak?”
“Dasar rakyat!” dalam hati aku
mengumpat.
Entah mengapa, setiap kali
melayat orang meninggal
aku selalu melihat penagih
utang itu menyelinap
di tengah kerumunan. Ia suka
mengangguk, tersenyum,
namun saat akan kutemui sudah
tak ada di tempatnya.
Tahu-tahu ia muncul di kuburan,
melambaikan tangan,
dan ketika kudatangi tiba-tiba
raib entah ke mana.
Dan orang kaya yang banyak
utang itu akhirnya
mati mendadak persis saat
sedang mencoba keranda emas
yang baru saja selesai dibuat
oleh ahlinya.
Mewakili para pelayat, bapak
tua berbaju batik itu tampil
menyampaikan kata-kata
belasungkawa.
Dalam sambutan singkatnya
antara lain ia mengatakan
bahwa kematian tragis almarhum
tetap tidak dapat
menebus utang-utangnya. Namun
ia mengajak hadirin
untuk mendoakan arwahnya,
memaafkan segala salahnya,
syukur-syukur bersedia ikut
menanggung utang-utangnya.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment