Yang ditunggu belum juga
datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah
dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu
dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau
mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan.
Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di
sudut kenangan.’”
Belum sudah ia bereskan
resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah
telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun
lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku
mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman,
menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di
molek tubuhku.”
Dan suntuklah ia bekerja,
membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda
pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang
memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada
rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada
ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada
payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul
dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga
antara perut dan paha.
Benar-benar pemberani. Tak
gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang
mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara
memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut
sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip
diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan
tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap
dalam hangat pertemuan.”
“Ah, dasar bajingan. Kau cuma
ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan
pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya
sengaja tak aku kunci.”
Tak ada sahutan. Cuma ada yang
cekikikan
dan terbirit-birit pergi
seperti takut segera ketahuan.
“Baiklah, kalau begitu,
permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi
gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan.
Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi,
menggelepar, dalam jaring melankoli.”
Sesudah itu ia sering mangkal
di kuburan,
menunggu kekasihnya datang.
Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia
berikan.
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment