Ia duduk seharian di
salon kecantikan.
Melancong ke
negeri-negeri jauh di balik cermin.
Menyusuri langit putih
biru jingga
dan selalu pada
akhirnya: terjebak di cakrawala.
“Sekali ini aku tak
mau diganggu.
Waktu seluruhnya untuk
kesendirianku.”
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut
di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan
hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur
terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin
mengatakan:
“Mata, kau bukan lagi
bulan binal
yang menyimpan birahi
dan misteri.”
Ia pejamkan matanya
sedetik
dan cukuplah ia
mengerti
bahwa gairah dan
gelora
harus ia serahkan
kepada usia.
Toh ia ingin tegar
bertahan
dari ancaman memori
dan melankoli.
Ia seorang pemberani
di tengah kecamuk
sepi.
Angin itu sayup.
Gerimis itu lembut.
Ia memandang dan
dipandang
wajah di balik kaca.
Ia dijaring dan
menjaring
dunia di seberang
sana.
Hatinya tertawan di
simpang jalan
menuju fantasi atau
realita.
Mengapa harus
menyesal?
Mengapa takut tak
kekal?
Apa beda selamat jalan
dan selamat tinggal?
Kecantikan dan
kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak
saling mengenal.
“Aku cantik.
Aku ingin tetap
mempesona.
Bahkan jika ia yang di
dalam cermin
merasa tua dan
sia-sia.”
Yang di dalam kaca
tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang
diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan
dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan
dengan kenangan.
Dan ia ingin
mengatakan:
“Rambut, kau bukan
lagi padang rumput
yang dikagumi para
pemburu.”
Kini ia sampai di
negeri yang paling ia kangeni.
“Aku mau singgah di
rumah yang terang benderang.
Yang dindingnya adalah
kaki langit.
Yang terpencil
terkucil di seberang ingatan.
Aku mau menengok bunga
merah
yang menjulur liar
di sudut kamar.”
Ada saatnya ia waswas
kalau yang di dalam
cermin memalingkan muka
karena bosan, karena
tak betah lagi berlama-lama
menjadi bayangannya
lalu melengos ke arah
tiada.
Lagu itu lirih.
Suara itu letih.
Di ujung kecantikan
jarum jam
mulai mengukur irama
jantungnya.
“Aku minta sedikit
waktu lagi
buat tamasya ke dalam
cemas.
Malam sudah hendak
menjemputku
di depan pintu.”
Keningnya ia rapatkan
pada kaca.
Pandangnya ia lekatkan
pada cahaya.
Ia menatap. Ia melihat
pada bola matanya
segerombolan pemburu
beriringan pulang
membawa bangkai singa.
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih
hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas
kenyal yang surut
dari sintal dada.
Dan ia ingin
mengatakan:
“Dada, kau bukan lagi
pegunungan indah
yang dijelajahi para
pendaki.”
Ia mulai tabah kini
justru di saat cermin
hendak merebut
dan mengurung
tubuhnya.
“Serahkan. Kau akan
kurangkum,
kukuasai seluruhnya.”
Ia ingin masih cantik
di saat langit di
dalam cermin berangsur luruh.
Hatinya semakin dekat
kepada yang jauh
Oleh :
Joko Pinurbo
No comments:
Post a Comment