Candradimuka hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku apimu membekukan
dinginmu memanggang
Di kawah aku mengolah baja namun engkau
menantang keabadianku di antara
pijar matahari dan
malaikat salju
Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar
detak jantung rahasiamu
kuperoleh Tidur yang sebenarnya
Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu
karena tahu sang Sutradara
hanya menorehkan sepi
Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang
punggung beribu orang yang
mengigau pernah ketemu dan
bercakap-cakap denganmu
Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus
gelar, menabur janji,
menancapkan papan-papan ikrar
dan menyuratkan buih-buih mimpi
yang terbengkalai
Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih,
nilai-nilai undur diri kepadamu
di tengah program bingung
dan gerak yang serba rancu, ruh
anak-anakmu terguncang
oleh kendaraan-kendaraan yang
kesurupan di atas
danau-danau jalan rayamu
Kemudian sekian ratus di antara mereka,
mati rahasia, dan engkau tahu
persis jumlahnya tanpa meraka
pernah kepadamu membukakannya
Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai
hamparan langit yang mahasabar,
Yogyaku engkau
memaafkan para pelacur dan
maling di jalan dan di singgasana
Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji
sunyi, di singgasana engkau
menaruh rasa iba hati, karena jika
engkau dijual untuk sepiring
nasi, sesungguhnya engkau tak
kan pernah bisa digadaikan atau
dicuri
Yogyaku engkau diangkut dari sungai masa silam
dengan truk hari depan, Yogyaku
engkau direbut dari masa
datang dan tergesa dilempar ke
museum ke alam abad silam,
waktu tak di dalam ruang, juga
tak di luarnya,
tak di sela garis batasnya ...
Oleh :
Emha Ainun Najib
No comments:
Post a Comment