Friday, June 26, 2015

Marco Polo

Hari masih gelap, hari Rabu itu, ketika Marco Polo pulang,

jam 6 pagi di musim gugur, beberapa abad kemudian.


I

Di dermaga Ponte Rialto tak dikenalinya lagi

camar pertama. Di parapet jembatan itu

tak bisa ia baca lagi beberapa huruf tua

yang menyela kabut

sepanjang kanal.

Hanya dilihatnya seorang perempuan Vietnam

mendaki tangga batu yang bersampah.

Dan Marco Polo tak tahu pasti

apakah perempuan itu bernyanyi

di antara desau taksi air.

Apakah ia bahagia.

Atau ia hanya ingin menemani seorang hitam

yang berdiri sejak tadi di bawah tiang lampu

di depan kedai pizza, selama angin

merekatkan gerimis.

“Kalian datang dari mana?,” pengelana Venezia itu bertanya.

“Tidak dari jauh,” jawab perempuan itu,70-640

“Tidak dari jauh,” jawab orang hitam itu.

1z0-051

Dan camar pertama itu terbang.

Ia pernah kenal pagi seperti ini:

pagi yang dulu tak menghendakinya pergi.


II

Bau kopi pada cangkir

sebelum kantin membuka pintunya,

bau lisong pada kursi

yang masih belum disiapkan:

yang tak berumah di kota ini

tak akan pernah memulai hari.


III

Dua jam ia coba temukan tanda delima

yang pernah diguratkan diujung tembok

lorong-lorong sempit.

Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi,

tak lagi menengok

ke arahnya.


IV

Di Plaza San Marco, dari dinding Basilika

malaikat tak bertubuh

menemukan gamis yang dilepas.

“Adakah kau lihat,

seseorang telah menemukan seseorang lain

dan berjalan telanjang

ke arah surga?”

Tak ada yang menjawab.

Hanya Marco Polo yang ingin menjawab.

Tapi dari serambi kafe

orkes memainkan La Cumparsita

dan kursi-kursi putih menari

tak kelihatan, sampai jauh malam

Ketika kemudian datang hujan yang seperti tak sengaja,

seorang turis tua berkata: “Akan kubeli topi Jepang

yang dijajakan pada rak,

akan kupasang

ke kepala anak yang hilang dari emaknya.”


V

Menjelang tengah malam, para pedagang Benggali

masih melontarkan benda bercahaya

ke menara lonceng. “Malam belum selesai”, kata mereka,

“malam belum selesai.”

Marco Polo mengerti.

Ia teringat kunang-kunang.


VI

Cahaya-cahaya

setengah bersembunyi

pada jarak 3 kilometer dari laut

Dan di laut itu

terbentang

gelap aneh yang lain.

“I must be a mermaid, Rango. I have no fear of depths

and a great fear of shallow living.” ― Anaïs Nin


VII

Esoknya hari Minggu, dan dibilik Basilika padri itu bertanya:

Tuan yang lama bepergian, apa yang akan tuan akui sebagai dosa?”

Marco Polo: “Iman yang tergesa-gesa”.

Saya tak paham.”

Marco Polo: “Aku telah menyaksikan kota yang sempurna.

Dindingnya dipahat dengan ekses dan peperangan

di mana tuhan tak menangis.”


VIII

Di Hotel Firenze yang sempit

Marco Polo bermimpi angin rendah dengan harum kemuning.

Ia terbangun.

Ia lapar,

ia tak tahu.

Ia kangen.

ia tak tahu.

Ia hanya tahu ada yang hilang dari slimutnya:

warna ganih, bau sperma,

dan tujuh remah biskuit

yang pernah terserak

di atas meja.


IX

Pada jam makan siang

dari ventilasi kamar

didengarnya imigran-imigran Habsi

bernyanyi,

Aku ingin mengangkut hujan dari kaki dewa-dewa,

aku ingin datangkan sejuk sebelum tengah hari besok,

aku akan lepaskan perahu dari kering.

Di antara doa dan nyanyi itu

derak dayung-dayung gondola mematahkan

sunyinya.


X

Sebulan kemudian.

Di hari Senin itu

musim mengeras tua

dan Marco Polo membuka pintu.

Cuaca masih gelap.

Jam 6 pagi.

Biduk akan segera berangkat.

“Tuanku, Tuhanku,

aku tak ingin pergi.”

Ia berlutut.

Ia berlutut tapi dilihatnya laut datang

dengan paras orang mati.



Oleh :

Goenawan Mohammad

No comments:

Post a Comment