Thursday, June 11, 2015

Yogyaku

Candradimuka hanya kawah panas seribu panas

tapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggang

Di kawah aku mengolah baja namun engkau

menantang keabadianku di antara pijar matahari dan

malaikat salju

Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar

detak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnya

Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu

karena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepi

Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang

punggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu dan

bercakap-cakap denganmu

Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus

gelar, menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar

dan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai

Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih,

nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program bingung

dan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncang

oleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas

danau-danau jalan rayamu

Kemudian sekian ratus di antara mereka,

mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa meraka

pernah kepadamu membukakannya

Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai

hamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkau

memaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di singgasana

Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji

sunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jika

engkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau tak

kan pernah bisa digadaikan atau dicuri

Yogyaku engkau diangkut dari sungai masa silam

dengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masa

datang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam,

waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,

tak di sela garis batasnya ...



Oleh :

Emha Ainun Najib

No comments:

Post a Comment