Saturday, June 27, 2015

Sjahrir, Di Sebuah Sel

— untuk Rudolf Mrazek


Dari jendela selnya,

(kita bayangkan ini Jakarta,

Februari 1965, dan ruang itu lembab,

dan jendela itu rabun),

ia merasa siluet pohon

mengubah diri jadi Des,

anak yang berjalan dari selat

memungut cangkang nyiur,

dan melemparkannya

ke ujung pulau.

“Aku selalu berkhayal tentang selat,

atau taman kembang, atau anak-anak.”


Itu yang kemudian ditulisnya

di catatan harian.


Maka ditutupkannya daun jendela

dan ia kembali ke meja,

ke peta dengan warna laut

yang tak jelas lagi.


Ia cari kapal Portugis.


Tapi Banda begitu pekat, dan laut

menyembunyikan ingatannya.


(Seorang pemetik pala

pernah mengatakan itu

di sebuah bukit

kepada Hatta).


Kini ia mengerti: juga peta

menyembunyikan ingatannya,

seperti malam Rusia

menyembunyikan sebuah kota.

Tiap pendarat tak akan

mengenali letak dangau,

jejak ketam pasir,

batang rambai yang terakhir,

di mana sisa hujan

agak disamarkan.


“Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?”


Seekor ular daun pernah menyusup

ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,

“Mungkin. Mungkin aku tak akan mati.”


Esoknya ia berlayar.

Di jukung itu anak-anak mengibarkan

bendera negeri yang belum mereka kenal.


“Lupa adalah….”


“Jangan kau kutip Nietzsche lagi!”.


“Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu

sejauh mana kita merdeka.”


Di beranda rumah Tjipto,

di tahun 1936 itu,

percakapan sore,

di antara pohon-pohon Naira,

selalu menenteramkan.

“Jangan beri kami altar

dan tuhan imperial,”

seseorang menirukan doa.


“Tapi kita dipenjarakan, bukan?”


Ya, tapi ini penjara yang pertama,

yang memisahkannya dari ingin

dan kematian.


“Ah, lebih baik kita diam,”

kata tuan rumah.

“Abad ke-20 adalah abad

yang memalukan.”


Di sana, di beranda rumah Tjipto,

menjelang malam, di tahun 1936,

mereka selalu tertawa

mengulang kalimat itu.


Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,

Rumah Tahanan Militer, 1965),

ia tak pernah merasa begitu sendiri.


Hanya ada suara burung tiung

(atau seperti suara burung tiung)

ketika siang diam.


Tapi ia takut duduk.


Ia tak ingin menghadap ke laut,

(andaikan ada laut),

seperti patung Jan Pieterzoon Coen,

seperti pengintai di menara benteng

yang menunggu kapal-kapal

di dekat langit

sebelum perang.


Ia tak ingin duduk.


“Siapa yang menatap jurang dalam,

jurang dalam akan menatapnya.”


Mungkinkah ia sendiri

yang mengucapkannya di sel itu?


2014



Oleh :

Goenawan Mohammad

No comments:

Post a Comment