Sunday, June 28, 2015

Di Mercu Suar

Berdirilah di sudut, katamu.

Raba tembok tua itu.

Di dekat pigura yang tergores pisau,

tertulis “1927”.


Siapa tahu kita akan tenang dengan ruang yang dihuni waktu: pintu kayu besi yang

dibalur lumut, engsel yang digerus asin laut, gambar dua mendiang presiden pada

dinding….


Mungkin mercu ini akan melindungi kita

dari hal-hal yang berarti,

dengan tamasya yang minimal.

Seorang penjaga pernah menuliskan

satu kalimat di langit-langitnya,

“Cahayaku memberikan segalanya ke samudera.”


Kita belum tahu siapa yang pernah di sini, adakah kita tamu di sini.

Tertahan di sepetak pulau, kita bisa juga betah dengan sebungkah karang

dan seonggok tanggul yang membiasakan diri kepada pasang – seperti semak

jeruju kering di utara yang tak jauh itu yang hampir hanyut, tapi selalu

menemui ombak.


Aku tak bisa jawab

apa yang akan lenyap

dan yang tiba

kelak.


Apa yang dicatat,

apa yang diingat?

Apa yang disimpulkan?

Jangan-jangan di mercu ini kita akan juga bikin sejarah, kataku.


Barangkali, jawabmu, tapi jangan cemas, sejarah hanya sebentuk origami,

kisah yang tersusun dari ingatan,

lipatan yang tak dijahit mati, camar kertas yang terbang diguncang angin

dan dipercakapkan dari jauh.


Kita juga yang kemudian membayangkan arahnya.


Menakjubkan bahwa kau begitu sabar.


Ah, berdirilah di sudut, jawabmu,

dan lihat: laut tak menginvasi.

Dari mercu ini kita akan mencoba mengerti badai

ketika langit tak bisa diharapkan.


**


Pada debur ombak berikutnya,

aku terkantuk dengan mimpi yang tipis:

Sebuah jung. Deretan layar malam.

Dua orang di buritan

yang tak tahu mereka di mana.

“Tapi kita bahagia,”

kata salah seorang di antaranya.


Sebenarnya mereka berharap

ada seseorang yang di bandar menantikan.

Tapi anak yang tertidur di dermaga dengan kostum kapas itu mengigau,

tak memanggil….


Ketika aku terbangun, angin meraung.

Di dinding kulihat bayang kita yang bongkok sedikit

dan Ajal yang bergerak

seperti siluet tangan seorang anak.


Barangkali di pucuk mercu suar ini

telah diterakan sepasang inisial –

nama yang akan lama tinggal

nama yang mati;

nama kita yang mati.



Oleh :

Goenawan Mohammad

No comments:

Post a Comment