Dzu Walayah membawaku
mengembara.
Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi
berubah cara
berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu
bintang, kureguk
jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu
puting induknya.
Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul
wujud, Allah
dengan hambaNya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk
dua ciduk air
samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat
kencang, ia lepaskan
kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk
selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah
untukku.”
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara
tayuban yang riuh
rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit
pundakku – “Pergilah ambil penari
itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan
kepadaku tariannya.”
Oleh :
Emha Ainun Najib
No comments:
Post a Comment