Surga
terletak di telapak kaki ibu, ia selalu ingat itu: perempuan tua penyapu jalan
yang tak dikenalnya yang memberinya seraut tapal kuda dan berkata, ‘Kutemukan
ini; coba kau simpan’.
Sejak itu
di tas sekolahnya ada tapal kuda yang separuh berkarat. Tiap pagi, sebelum memasuki
kelas, ia merabanya: sesaat, entah di mana, ia dengar gerit pintu kandang
dibuka dan bunyi langkah ksatria yang belum ia beri nama: seorang kurus yang
meregangkan kakinya di sanggurdi dan berangkat membunuh Boma di perbatasan.
Di kedai
tukang kebun, terkadang ia tunjukkan tapal kuda itu kepada siapa saja yang
duduk di dekatnya. Siapa saja tak pernah tahu apa yang sebaiknya dikatakan.
Beberapa orang hanya berkata, ‘Wah!’ dan pergi.
Beberapa
tahun kemudian ia menangis untuk ayahnya yang menghilang di Semenanjung dan
ibunya yang memahat kayu sampai jauh malam. Digenggamnya tapal kuda itu di
jam-jam sebelum tidur, karena ia ingin bermimpi Boma tak mengalahkan ksatria
yang tak bernama itu, meskipun kuda itu pulang tak berpenunggang.
Dulu ia
pernah percaya besi berkarat yang disimpannya itu juga terpasang di kuda
kavaleri yang terjun ke jurang dengan leher tertembak. Tapi kemudian ia
menemukan sejumlah cerita lain yang setelah 25 tahun berlalu ia lupakan.
Kini, di
studionya, tapal kuda itu terpasang pada tepi meja gambar: seraut U yang
bersahaja, sebuah desain dengan sederet lobang yang seakan-akan malu
menyembunyikan kesedihan.
Tapi
mungkin juga bukan kesedihan. Kemarin malam di atas kertas ia goreskan pensil
mengikuti lengkung U. Lalu ia gambar sebuah candi di sebuah hutan Bali yang
hampir tak kelihatan karena kabut. ‘Ini cerita perjalanan yang lama’, demikian
ia berkata kepada anaknya yang menatapnya dengan takjub.
‘Aku
melihat kuda itu, Ayah’.
‘Apa warnanya, Isa?’
‘Ungu,
tapi kakinya putih. Di pelananya duduk seorang ibu yang tua’.
‘Bukan
seorang ksatria yang kurus?’
‘Bukan’.
Ia diam.
Dielusnya kepala anak itu.
Di depan
jendela studio, kemudian, ketika ia sejenak melihat ke gelap, ia dengar berisik
sebuah jalan yang tak dikenalnya. Seperti di pagi hari. Seorang ibu tua penyapu
jalan, dengan seragam kuning yang berlumpur, terbungkuk memungut sesuatu dari
sampah.
Di antara
asap mobil yang lewat, benda itu berkilau. Seperti setangkai daun surga.
Oleh :
Goenawan Mohammad
No comments:
Post a Comment