Friday, July 31, 2015

Penangkapan Sukra

— Variasi atas Babad Tanah Jawi


Namaku Sukra, lahir di Kartasura, 17…, di sebuah pagi

Selasa Manis, ketika bulan telah berguling ke balik gunung.


Waktu itu, kata orang, anjing-anjing hutan menyalak panjang,

tinggi, dan seorang abdi berkata, “Ada juga lolong serigala

ketika Kurawa dilahirkan.”


Bapakku, bangsawan perkasa itu, jadi pucat.


Ia seolah menyaksikan bayang-bayang semua pohon berangkat

Pergi, tak akan kembali.


Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.


Debu kembali ke tanah

Jejak sembunyi ke tanah

Sukra diseret ke sana

Seluruh Kartasura tak bersuara

Sang bapak menangis kepada angin

Perempuan kepada cermin

“Raden, raden yang bagus,

pelupukku akan hangus!”

Apa soalnya? Kenapa aku, mereka tangkap tiba-tiba?

Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.

Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu

saja tak berguna.


Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat

sengit, dalam perjalanan itu.

Sampai akhirnya iringan berhenti.

Tempat itu sepi.


“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”

“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi

akan mengetahuinya sendiri.”


Ada ruang yang tak kulihat.

Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.


Kemudian mataku mereka buka. Lalu kulihat pertama kali

gelap sehabis senja.


Aku pun tahu, setelah itu

tentang nasibku. Malam itu Pangeran, Putera Mahkota

telah menghunus kehendaknya.


Siapakah yang berkhianat

Kelam atau kesumat?

Kenapa nasib tujuh sembilu

Menghadang anak itu


“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”

(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)


“Tidak, Gusti.”

“Kausangka kau pemberani?”


Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,

tapi dari pipinya yang tembam kurasakan geram saling mengetam,

mengirim getarnya lewat bayang-bayang.


Suara itu juga seperti melayang-layang.


“Kau menantangku.”


Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.


“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan

aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan

kerajaanku. Jawablah, Sukra.”


Malam hanya dinding

Berbayang-bayang lembing.

“Hamba tidak tahu, Gusti.”


Bulan lumpuh ke bumi

Sebelum parak pagi.

“Pukuli dia, di sini!”


Duh, dusta yang merah

Kau ingin cicipi asin darah

“Masukkan semut ke dalam matanya!”


Seluruh Kartasura tak bersuara



Oleh :

Goenawan Mohammad

No comments:

Post a Comment