Thursday, July 9, 2015

Gandari

Lima hari sebelum ibu para Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai kain

hitam, mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik

sebelum ajal…

la, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore itu

menengok ke luar jendela buat terakhir kalinya:


Sebuah parit merayap ke arah danau. Dua ekor tikus mati,

hanyut. Sebilah papan pecah mengapung.

Sebatang ranting tua mengapung.


Di permukaan telaga, di utara, dua orang

mengayuh jukung yang tipis, dengan

dayung yang putus asa.


Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka.


“Mereka lari dari koloni kusta,” kata Gandari dalam hati,

“dan mereka lihat warna hitam

yang berhimpun di atas bukit.”


Malam, sebenarnya mendung, seakan mendekat.

Air naik deras ke langit:

sebuah pusaran, sebelum hujan datang, lebat,

menghantam danau.


Dan angkasa gemetar

Dan mengubah diri ke dalam putting beliung.


*

Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya:

Pada halaman langit

Bintang membentuk asteris,

yang merujuk ke nama yang tak ada

juga nama seorang dewa yang

susut


*

Dan guruh berkejaran dengan hujan

sepanjang trowongan langit

yang merendah.


Kemudian kering. Kemudian gerimis,

seperti silabel yang lebat,

berdegup, bergegas, berdegup, dari pinggir galaksi,

membentuk kata, kata, kata…


Tapi perempuan yang sedih itu tak memberinya arti.


*

Di luar aula para dewa, ketika angkasa kosong,

Brahma mencipta Kematian.

“Kali akan datang,” katanya,

“dan akan melambaikan tangannya yang ungu.

Tenanglah, semua tak akan apa-apa.”


Di dalam ruang, tak ada yang ingin bicara.


Dan dari bulan yang lambat

Maut meloncat ke kerumunan mega.

la menari. Di pelukannya yang putih, ada mayat

yang terpenggal.


*

Malam itu para dewa pun diberitahu,

itulah tarian Kali yang pertama.


*

“Aur mengisut, air surut,

cahaya jadi sepa, dan dari langit

tak ada lagi apa-apa. Hanya di malam-malam tertentu

dewa-dewa menciptakan teks mereka

yang panjang, sepanjang ribuan makam.


“Mereka menghendaki aku, Kematian,

Mereka menghendaki aku.”


*

Mungkin Gandari mendengar kata-kata itu.


Tapi kemarin di balairung itu,

bersama Destarastra yang berkabung,

ketika ia dengar “pyuuu” kepodang hutan,

ia tak tahu isyarat apa

yang telah disampaikan.


Itu adalah hari kesendirian mereka yang ke-7.

Suami-isteri di ruang selatan: sepasang tahta tua;

dinding yang terlindung gordin; sepetak lantai

dengan medan catur yang panjang; bidak-bidak berat

yang berdiri berjauhan: ksatria asing, pion-pion yang bungkam,

para pendeta yang angkuh, benteng bujursangkar.


Gandari pernah menyukai semua itu: “Dulu aku

memimpikan makhluk imajiner di hitam-putih senjakala.”


Tapi tiap malam Destarastra, suaminya,

hanya bisa mengkhayalkan berbagai unggas

dengan bulu yang ia sebut hijau.


*

Tapi tidak di malam itu. Dari plafon

yang dipahat gambar naga,

cahaya makin tak berarti.

Lampu ke-3 tak ada lagi.


Ketika itulah raja yang buta itu berkata,

“Aku membau amis empedu.”


Meskipun semalam

tak seorang pun mempersembahkan

hewan korban.


Orang-orang bersenjata

telah meninggalkan mereka.


*

Pada pukul 7:45 perempuan itu pun menggeruskan kuku

tangannya

pada kain lena lengan kursi.


la dengar degup kaki kuda

yang lelah itu lagi, seperti kemarin, seperti kemarin,

dan seorang prajurit luka yang setiap senja berkata kepadanya:

“Hamba membawa kabar dari peperangan, Ratu.”


Gandari hanya memandang ke halaman. la seakan men-

dengar

kalamakara di gerbang itu bergerak

Bersama suara katak yang mengigau.


*

Mari kita pergi.

Ke sebuah kota di mana nujum

tak dibaca. Di mana anak-anak

tak tumbuh. Di mana masa lalu adalah masa kini.

Di mana “aku” hanya

kata sebelum amnesia.


Mari kita pergi ke sebuah kota

di mana kabar adalah tafsir

yang terlambat.


*

Tapi ia tahu, hanya ada sebuah kota yang tinggal.

Di Dhenuka. Di perbatasannya yang kering, Kali berdiri

dengan satu kaki, selama 15 ribu tahun.

Parasnya yang gelap seperti Semeru malam

memandang ke 700 rangka

yang terhantar. “Paduka tak memberiku cermin.

Hanya bisa kulihat wajahku

pada langit sekeruh tembaga.

Paduka tak memberiku warna

meskipun pada perak pagi.”


Brahma tertawa: “Tapi kau kematian.

Kau Mertyu.”


“Ya, aku kematian.”


“Aku suka gerak burung di pohon yang pucat.

Aku suka bau tahi sapi yang separuh terbakar.

Aku suka—”


*

Mungkin juga Gandari cuma bermimpi

tentang dewa-dewa yang bodoh.


Kini ia ingin duduk.


“Jangan kau hanya diam,” suaminya berkata.

Ia lihat jari kisut lelaki itu

meremas kain kasar yang terjela

dari sisi mahligai;

karena ia sebenarnya gemetar.


Ketika itu,

utusan itulah yang bersuara.


“Bhisma gugur, dengan 100 liang luka.”


“Dan ketika orang tua itu rubuh

di bawah bukit-bukit Kurusetra,

perang berhenti sebentar,

dan senjata diletakkan.

Dan di kedua perkemahan

orang-orang menunduk:

‘Bhisma gugur/ mereka berbisik,

‘dengan 100 liang luka’.”


*

“Katakan kepada saya,

apakah yang paling menyakitkan

dari perang? Kekalahan?

Atau kebencian?”


Gandari ingin mengatakan kalimat itu, tapi

di sudut halaman yang gelap,

utusan yang letih itu

hanya memejamkan matanya.


Ratu itu seperti melihat bidak-bidak catur bergerak.



Oleh :

Goenawan Mohammad

No comments:

Post a Comment