Saturday, July 25, 2015

K.T.P

— sebuah esai*


Saya tinggal di sebuah kota yang dihuni 10.ooo.ooo manusia tapi pada suatu hari ada kemungkinan tak seorang pun yang akan datang menggali kubur. Sehari sebelumnya para pembesar kotapraja mengumumkan, agar penduduk kota maklum, agar penduduk tenang, bahwa di setiap tempat pemkaman publik yang 18 jumlahnya itu para petugas sudah menggali 40 buah kubur sekaligus.


Mengapa 40, ada yang bertanya. Mengapa 40 karena seperti terjadi di tahun sebelumnya, dan di tahun sebelumnya lagi, itulah jumlah orang yang mati sakit atau kecelakaan, rata-rata antara 35 sampai 40 pada hari seperti itu, dan mayat-mayat itu, saudara tahu, harus segera dikebumikan, sementara pada hari seperti itu akan tak ada pekerja yang datang untuk mempersiapkan liang lahat. Pada hari itu jutaan orang, termasuk para petugas jawatan pemakaman, akan pergi meninggalkan kota untuk sepekan lamanya. Pada hari itu hampir secara serempak mereka akan menaiki deretan kereta api yang persegi panjang, ratusan bis besar yang berjejal, atau mengarungi laut dengan 12 kapal hitam yang sarat. Pada hari itu mereka akan pergi, dalam kelompok-kelompok kecil atau sendiri-sendiri, mengunjungi distrik-distrik di pedalaman, desa-desa yang dulu terpencil, seakan-akan mengikuti sejenis ziarah massal, atau mungkin juga bukan ziarah sama sekali, tetapi sebuah ritual yang tak sepenuhnya mereka sadari sebagai ritual, jalan kebaktian dan jalan kesengsaraan dan kesukacitaan yang mereka tempuh saban tahun, pelan, berbahaya, berkeringat, beratus-ratus kilometer.


Saya tinggal di sebuah kota yang untuk sepekan lamanya ditinggalkan orang, beratus-ratus kilometer, pada sebuah hari tertentu, di tahun yang kapan saja, sehingga kota ini mendadak lengang, seperti sebuah negeri yang dikalahkan garuda. Pada hari itu tak seorang pun yang bahkan ke telinga anak-anaknya sendiri menyebut, dengan hangat, “ini, ini… kota kita.” Antara “kota” dan “kita” menganga sebuah jarak yang aneh. Sebuah kekosongan. Jika tuan renungkan kekosongan itu, uan seakan-akan mendapatkan sebuah bejana gelas, dan di dalamnya Jakarta, kota itu, akan ampak seperti sebuah bandar, seperti sebuah bandar untuk transit, dengan orang-orang yang antri di sebuah lorong besar menjelang sebuah gerbang perjalanan laut yang tak berkesudahan. Tanpa aracis. Di teluk, ada sebuah bahtera. Ada dek berlapis-lapis. Ada kamar kapal dengan jendela-jendela bulat dengan lampu yang seperti zuhrah, didampingi deretan pelampung jingga yang lentuk seperti donat, ribuan sekoci yang ramping seperti ikan terbang, dan orang ramai berbaju rapi yang memandang cerobong asap yang tak pernah berhenti membuat sinyal.


Di negeri-negeri maritim, kata orang yang menulis tarikh, sebuah kota selamanya sebuah bandar. Tapi harus saya katakan bahwa saya tak tahu ke arah mana saja perjalanan laut dari sini. Yang saya tahu hanya berjuta-juta orang datang dari jauh, dari sebuah wilayah yang dibayangkan bersama-sama sebagai “udik”, dan mereka semua menanti.


Seorang tua yang hidup di sebuah sudut kota yang di abad ke-16 ditempati orang Portugis mengatakan bahwa semua orang pada dasarnya menantikan jemputan Dampo Awang. Siapa Dampo Awang, tuan akan bertanya, dan hanya sedikit yang akan bisa memberi jawab, antara lain seperti ini: Adapun Dampo Awang adalah seorang laksamana yang membawa sebuah armada besar, konon dari Tiongkok, konon dari Mongol, ada lagi yang mengatakan ia orang Gujarat, ada yang mengatakan ia datang dari Genoa, tapi yang pasti ia bukan seorang petualang rempah-rempah. Ia kemegahan yang datang dan singgah dan pergi lagi. Ialah yang mengalahkan Amangkurat Pertama, raja Mataram yang ganas itu, yang ingin merebut kota ini dan menyeretnya ke pedalaman abad ke-17, tapi juga ia sekaligus mengalahkan Jan Piereszoon Coen, orang Belanda yang mengetuai Serikat Dagang Hindia Timur, yang menduduki wilayah penuh disentri ini dan membangunnya dari rawa dengan sebuah meriam yang bisa memuntahkan 300 gobang emas. Bagaimana Dampo Awang mengalahkan orang ini, saya bertanya. Ia merebut meriam itu, itulah jawaban yang saya peroleh. Tapi kemudian Damo Awang berangkat lagi, dan hanya kadang-kadang bendera armadanya yang merah marun itu yang tampak sekilas di batas laut dan langit, seakan-akan mengisyaratkan sebuah kunjungan kembali, nanti.


Saya tinggal di sebuah kota yang seluruh sejarahnya adalah janji-janji yang jauh, sejarah yang tak pernah diringkas oleh sebuah geografi. Sebab itu saya tak selalu persis bisa menyusun Jakarta di dalam sebuah citra: kadang-kadang ia memang seperti sebuah pelabuhan penuh dengan biduk-biduk Bugis dan kapal-kapal pesiar asing, kadang-kadang ia seperti sebuah pesawat zeplin yang membawa sembilan pencakar langit di bawah lambungnya, melintasi sebuah gurun. Saya ingin membayangkan zeplin itu itu mengibarkan panji merah marun, dan di kokpitnya duduk Dampo Awang, yang membawa para penghuni melintasi batas wilayah yang paceklik dan kesulitan harap, dan dengan demikian memerdekakan, seraya terbang, mereka –seperti dalam kisah dari benua lain — yang mengungsi ke dalam kota, petani yang lari dari utang dan para pendekar yang menghindar dari penghambaan. Tapi kadang-kadang ia seperti kota Gotham dalam komik Batman, dengan gedung-gedung yang jangkung dan jahat, sebuah kota yang memalsukan sungainya sendiri, Ciliwung.


Dari atas sungai yang hilang itu, Tuhan diundang. Kaulah Maha Penyelia dan Maha Pembangun Batas. Kota ini tak pernah punya kali yang dalam, parit yang lebar dan gerbang yang melindungi kami. Kota ini seperti seonggok dusun khayal yang dibangun dari lahar yang hangat yang datang dari sebuah kepundan yang jauh, lahar yang tak henti-hentinya bergerak ke ceruk dan tanah rendah di mana saja, tanpa bentuk. Kota ini tak pernah punya peta. Berikanlah kami peta, tunjukkanlah kami rel hitam-putih, titik-titik memanjang yang merah, dan selat yang biru.


Itulah yang terjadi. Saya tinggal di sebuah kota di mana berjuta-juta orang berdoa, waswas, dengan hingar yang keras, kadang-kadang dengan pesta mercon, sering dengan tambur dari seng, dan setiap kali dengan teriakan yang panjang berbaris: Tuhan, kami ingin batas kami menjadi ketidak-terbatasan. Tak seorang pun yang tinggal sendiri akan selamanya tinggal sendiri, karena setiap tahun ada yang dikukuhkan dalam ritual yang seperti ziarah itu: sebuah kota yang pada suatu hari ditinggalkan jutaan penghuninya.


Saya tinggal di kota seperti itu, dan tahu, bahwa apabila pada suatu hari di setiap tahun jutaan orang mencari jalan ke arah udik, justru karena sebenarnya udik itu ada di rumah mereka, tak bersembunyi. Kota tak mengubah mereka. Atau, lebih tepat, mereka tak pernah mengubahnya. Di jalan yang berhiaskan cahaya dan iklan itu mereka memang menemukan sebuah kebebasan (yang tak didapatkan di ladang-ladang masa silam), tapi sebuah kebebasan yang hadir seperti bentuk geometris, ruang yang dengan cepat akan jadi sesak, berdebu, dan pengap oleh cemas, karena orang-orang baru akan terus datang, ke bandar imajiner ini, menanti saat berlayar. Meskipun mereka tak tahu ke mana. Seperti pengungsi. Dan seperti pengungsi, mereka pun menjadi berjuta-juta orang yang melupakan kota itu sebaga tempat di mana lupa senantiasa penting.


Saya tinggal di sebuah kota yang hampir sepenuhnya sebuah komposisi dari pelbagai lupa, karena ia sebenarnya tak punya sejarah, kecuali seperti yang sudah saya katakan di atas, hanya ingatan tentang Dampo Awang yang merebut sebuah meriam di abad ke-17. Juga janji-janji yang jauh. Di bagian kota yang tua ada pelbagai museum, gedung-gedung yang dibiarkan, tapi semua orang sudah menebak bahwa bangunan itu hendak membuat sebuah ingatan, dengan sebuah arsitektur satu-dua pintu. Dari waktu ke waktu para penghuni dipersilakan masuk, bahkan tanpa mengetuk, tapi mereka tidak bisa.


Ingatan hanya akan membentuk sebuah kontinuitas yang asing dan merisaukan, ketika hidup berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah. Pada setiap senja para penjual tanaman di tepi jalan akan menghilang, untuk dengan tangkas digantikan, dalam remang-remang, oleh orang-orang banci. Dari bayangan bungur Jepun yang batangnya sudah tinggi, dari pakis yang meriah dan kembang soka yang masih cerah biarpun hari pukul 20.00, orang-orang itu berdiri, dan kita tak ingat lagi apa dan siapa yang ada di sana di hari siang. Ketika kota tinggal hanya aspal jalan dan sorot lampu, yang akan berbaris di trota itu adalah ratusan perempuan yang bukan perempuan, lelaki yang bukan lelaki, pesolek yang memanfaatkan gelap, orang-orang terpesona yang jijik, berah yang tak meyakinkan walau pun asli, glamor yang lapar, hasrat yang ketakutan. Siapa pun ingin beristirahat, tapi tak menghendaki tidur. Dan tak seorang pun berniat pulang. “Kami tak pernah pulang,” kata mereka. “Kami hanya pergi.”



Catetan :

Karena pengarang membubuhi teks ini dengan keterangan sebuah esai, teks ini sebenarnya masuk dalam antologi (Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 [hal. 187-191]).

No comments:

Post a Comment