K.T.P
— sebuah esai*
Saya
tinggal di sebuah kota yang dihuni 10.ooo.ooo manusia tapi pada suatu hari ada
kemungkinan tak seorang pun yang akan datang menggali kubur. Sehari sebelumnya
para pembesar kotapraja mengumumkan, agar penduduk kota maklum, agar penduduk
tenang, bahwa di setiap tempat pemkaman publik yang 18 jumlahnya itu para
petugas sudah menggali 40 buah kubur sekaligus.
Mengapa
40, ada yang bertanya. Mengapa 40 karena seperti terjadi di tahun sebelumnya,
dan di tahun sebelumnya lagi, itulah jumlah orang yang mati sakit atau
kecelakaan, rata-rata antara 35 sampai 40 pada hari seperti itu, dan
mayat-mayat itu, saudara tahu, harus segera dikebumikan, sementara pada hari
seperti itu akan tak ada pekerja yang datang untuk mempersiapkan liang lahat.
Pada hari itu jutaan orang, termasuk para petugas jawatan pemakaman, akan pergi
meninggalkan kota untuk sepekan lamanya. Pada hari itu hampir secara serempak
mereka akan menaiki deretan kereta api yang persegi panjang, ratusan bis besar yang
berjejal, atau mengarungi laut dengan 12 kapal hitam yang sarat. Pada hari itu
mereka akan pergi, dalam kelompok-kelompok kecil atau sendiri-sendiri,
mengunjungi distrik-distrik di pedalaman, desa-desa yang dulu terpencil,
seakan-akan mengikuti sejenis ziarah massal, atau mungkin juga bukan ziarah
sama sekali, tetapi sebuah ritual yang tak sepenuhnya mereka sadari sebagai
ritual, jalan kebaktian dan jalan kesengsaraan dan kesukacitaan yang mereka
tempuh saban tahun, pelan, berbahaya, berkeringat, beratus-ratus kilometer.
Saya
tinggal di sebuah kota yang untuk sepekan lamanya ditinggalkan orang,
beratus-ratus kilometer, pada sebuah hari tertentu, di tahun yang kapan saja,
sehingga kota ini mendadak lengang, seperti sebuah negeri yang dikalahkan
garuda. Pada hari itu tak seorang pun yang bahkan ke telinga anak-anaknya
sendiri menyebut, dengan hangat, “ini, ini… kota kita.” Antara “kota” dan
“kita” menganga sebuah jarak yang aneh. Sebuah kekosongan. Jika tuan renungkan
kekosongan itu, uan seakan-akan mendapatkan sebuah bejana gelas, dan di
dalamnya Jakarta, kota itu, akan ampak seperti sebuah bandar, seperti sebuah
bandar untuk transit, dengan orang-orang yang antri di sebuah lorong besar
menjelang sebuah gerbang perjalanan laut yang tak berkesudahan. Tanpa aracis.
Di teluk, ada sebuah bahtera. Ada dek berlapis-lapis. Ada kamar kapal dengan
jendela-jendela bulat dengan lampu yang seperti zuhrah, didampingi deretan
pelampung jingga yang lentuk seperti donat, ribuan sekoci yang ramping seperti
ikan terbang, dan orang ramai berbaju rapi yang memandang cerobong asap yang
tak pernah berhenti membuat sinyal.
Di
negeri-negeri maritim, kata orang yang menulis tarikh, sebuah kota selamanya
sebuah bandar. Tapi harus saya katakan bahwa saya tak tahu ke arah mana saja
perjalanan laut dari sini. Yang saya tahu hanya berjuta-juta orang datang dari
jauh, dari sebuah wilayah yang dibayangkan bersama-sama sebagai “udik”, dan
mereka semua menanti.
Seorang
tua yang hidup di sebuah sudut kota yang di abad ke-16 ditempati orang Portugis
mengatakan bahwa semua orang pada dasarnya menantikan jemputan Dampo Awang.
Siapa Dampo Awang, tuan akan bertanya, dan hanya sedikit yang akan bisa memberi
jawab, antara lain seperti ini: Adapun Dampo Awang adalah seorang laksamana
yang membawa sebuah armada besar, konon dari Tiongkok, konon dari Mongol, ada
lagi yang mengatakan ia orang Gujarat, ada yang mengatakan ia datang dari
Genoa, tapi yang pasti ia bukan seorang petualang rempah-rempah. Ia kemegahan
yang datang dan singgah dan pergi lagi. Ialah yang mengalahkan Amangkurat
Pertama, raja Mataram yang ganas itu, yang ingin merebut kota ini dan
menyeretnya ke pedalaman abad ke-17, tapi juga ia sekaligus mengalahkan Jan
Piereszoon Coen, orang Belanda yang mengetuai Serikat Dagang Hindia Timur, yang
menduduki wilayah penuh disentri ini dan membangunnya dari rawa dengan sebuah
meriam yang bisa memuntahkan 300 gobang emas. Bagaimana Dampo Awang mengalahkan
orang ini, saya bertanya. Ia merebut meriam itu, itulah jawaban yang saya
peroleh. Tapi kemudian Damo Awang berangkat lagi, dan hanya kadang-kadang
bendera armadanya yang merah marun itu yang tampak sekilas di batas laut dan
langit, seakan-akan mengisyaratkan sebuah kunjungan kembali, nanti.
Saya
tinggal di sebuah kota yang seluruh sejarahnya adalah janji-janji yang jauh,
sejarah yang tak pernah diringkas oleh sebuah geografi. Sebab itu saya tak
selalu persis bisa menyusun Jakarta di dalam sebuah citra: kadang-kadang ia
memang seperti sebuah pelabuhan penuh dengan biduk-biduk Bugis dan kapal-kapal
pesiar asing, kadang-kadang ia seperti sebuah pesawat zeplin yang membawa
sembilan pencakar langit di bawah lambungnya, melintasi sebuah gurun. Saya
ingin membayangkan zeplin itu itu mengibarkan panji merah marun, dan di
kokpitnya duduk Dampo Awang, yang membawa para penghuni melintasi batas wilayah
yang paceklik dan kesulitan harap, dan dengan demikian memerdekakan, seraya
terbang, mereka –seperti dalam kisah dari benua lain — yang mengungsi ke dalam
kota, petani yang lari dari utang dan para pendekar yang menghindar dari penghambaan.
Tapi kadang-kadang ia seperti kota Gotham dalam komik Batman, dengan
gedung-gedung yang jangkung dan jahat, sebuah kota yang memalsukan sungainya
sendiri, Ciliwung.
Dari atas
sungai yang hilang itu, Tuhan diundang. Kaulah Maha Penyelia dan Maha Pembangun
Batas. Kota ini tak pernah punya kali yang dalam, parit yang lebar dan gerbang
yang melindungi kami. Kota ini seperti seonggok dusun khayal yang dibangun dari
lahar yang hangat yang datang dari sebuah kepundan yang jauh, lahar yang tak
henti-hentinya bergerak ke ceruk dan tanah rendah di mana saja, tanpa bentuk.
Kota ini tak pernah punya peta. Berikanlah kami peta, tunjukkanlah kami rel
hitam-putih, titik-titik memanjang yang merah, dan selat yang biru.
Itulah
yang terjadi. Saya tinggal di sebuah kota di mana berjuta-juta orang berdoa,
waswas, dengan hingar yang keras, kadang-kadang dengan pesta mercon, sering
dengan tambur dari seng, dan setiap kali dengan teriakan yang panjang berbaris:
Tuhan, kami ingin batas kami menjadi ketidak-terbatasan. Tak seorang pun yang
tinggal sendiri akan selamanya tinggal sendiri, karena setiap tahun ada yang
dikukuhkan dalam ritual yang seperti ziarah itu: sebuah kota yang pada suatu
hari ditinggalkan jutaan penghuninya.
Saya
tinggal di kota seperti itu, dan tahu, bahwa apabila pada suatu hari di setiap
tahun jutaan orang mencari jalan ke arah udik, justru karena sebenarnya udik
itu ada di rumah mereka, tak bersembunyi. Kota tak mengubah mereka. Atau, lebih
tepat, mereka tak pernah mengubahnya. Di jalan yang berhiaskan cahaya dan iklan
itu mereka memang menemukan sebuah kebebasan (yang tak didapatkan di
ladang-ladang masa silam), tapi sebuah kebebasan yang hadir seperti bentuk
geometris, ruang yang dengan cepat akan jadi sesak, berdebu, dan pengap oleh
cemas, karena orang-orang baru akan terus datang, ke bandar imajiner ini,
menanti saat berlayar. Meskipun mereka tak tahu ke mana. Seperti pengungsi. Dan
seperti pengungsi, mereka pun menjadi berjuta-juta orang yang melupakan kota
itu sebaga tempat di mana lupa senantiasa penting.
Saya
tinggal di sebuah kota yang hampir sepenuhnya sebuah komposisi dari pelbagai
lupa, karena ia sebenarnya tak punya sejarah, kecuali seperti yang sudah saya
katakan di atas, hanya ingatan tentang Dampo Awang yang merebut sebuah meriam
di abad ke-17. Juga janji-janji yang jauh. Di bagian kota yang tua ada pelbagai
museum, gedung-gedung yang dibiarkan, tapi semua orang sudah menebak bahwa
bangunan itu hendak membuat sebuah ingatan, dengan sebuah arsitektur satu-dua
pintu. Dari waktu ke waktu para penghuni dipersilakan masuk, bahkan tanpa
mengetuk, tapi mereka tidak bisa.
Ingatan
hanya akan membentuk sebuah kontinuitas yang asing dan merisaukan, ketika hidup
berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah. Pada setiap senja para
penjual tanaman di tepi jalan akan menghilang, untuk dengan tangkas digantikan,
dalam remang-remang, oleh orang-orang banci. Dari bayangan bungur Jepun yang
batangnya sudah tinggi, dari pakis yang meriah dan kembang soka yang masih
cerah biarpun hari pukul 20.00, orang-orang itu berdiri, dan kita tak ingat
lagi apa dan siapa yang ada di sana di hari siang. Ketika kota tinggal hanya
aspal jalan dan sorot lampu, yang akan berbaris di trota itu adalah ratusan
perempuan yang bukan perempuan, lelaki yang bukan lelaki, pesolek yang
memanfaatkan gelap, orang-orang terpesona yang jijik, berah yang tak meyakinkan
walau pun asli, glamor yang lapar, hasrat yang ketakutan. Siapa pun ingin
beristirahat, tapi tak menghendaki tidur. Dan tak seorang pun berniat pulang.
“Kami tak pernah pulang,” kata mereka. “Kami hanya pergi.”
Catetan :
Karena pengarang membubuhi teks ini dengan keterangan sebuah esai, teks ini sebenarnya
masuk dalam antologi (Sajak-sajak
Lengkap 1961-2001 [hal.
187-191]).
No comments:
Post a Comment