Thursday, August 13, 2015

Bebatuan Itu Merintih

lalu bebatuan itu merintih. sejak kemarin matahari

memukul-mukulkan wajahnya di bebatuan. di sungai

yang mengalirkan darahnya

kubaca keperihan dunia: aku tak tahu di mana

lagi kusimpan kesumat ini?

begitu jauh aku terdampar. di pulau yang tak lagi mengenalku

bahkan aku makin asing pada pesta kematianku yang bakal tiba

ingin kumasuk lebih dalam untuk mengaduk-aduk udara

yang beku! Tuhan, di dunia-Mu yang semarak ini kenapa

aku seperti tak mencium aroma manusia?

lalu bebatuan itu merintih. matahari memandang

garang di ujung jalan yang akan memisahkan dunia ini

dengan lain dunia. aku tak lagi paham dengan suara

merdu dan rintihmu. ketika ranjangku bertengkar

dengan maut di malam sunyi itu

inilah perjalanan panjang bagi bebatuan. setelah hari-hari

ditikam sejuta pisau waktu. tak ada lagi sesal dan harapan

udara telah membawa senyum dan tangis pelayat

ke dalam doa yang beterbangan

lalu bebatuan itu merintih. tak ada lagi senyum

yang dinyanyikan sungai, kecuali taman

menjelma tiba-tiba



Oleh :

Isbedy Stiawan ZS

No comments:

Post a Comment