Tentunya kita semua
tahu bahwa kalau berbicara kelebihan, pasti semua di dunia ini memiliki
kelebihan dan kekurangan, tapi di sini penulis tidak ingin melihat kekurangan
dalam setiap sesuatu, agar kelebihan selalu berpihak kepada kita.
Sastra dalam hal ini adalah
puisi yang merupakan ekspresi kreatif dari renungan sastrawan terhadap
kehidupan masyarakat, jadi yang menjadi terekspresi bisa berupa hiburan,
pencerahan, komentas atas situasi, rangkuman, potret keadaan, karikatur,
symbolisme, ekspresi tragedy atau tragis dengan mini kata pertunjukan. Jadi
dalam hal ini sastrawan melahirkan ide-ide pencerahan dan pembaruan.
Kelebihan puisi yang
bersumber pada imajinasi terletak pada kemampuannya tidak hanya menjadi model
identifikasi, tapi juga bagaimana mendorong kita membuat konstruksi mengenai
“aku” lebih luas dari kerangka model-model psikologi.
Puisi adalah sebuah
pesta atau “perayaan” dari realitas. Filsafat adalah discovery, yang
lalu dipresentasikan dalam sistematisasi rasional. Puisi dan filsafat memliki
kesamaan dalam usaha mengekspresikan berbagai “kebenaran” kehidupan kita,
termasuk kejiwaan, hidup batin, gejolak tulus dari rasa maupun nurani. Bedanya,
kalau puisi menggunakan medium bahasa konvensi padat dan gumpalan kata-kata
serti berfungsi sebagai “perayaan”, sedangkan filsafat lebih bagaimana
memaparkan dan mengurai kebenaran secara sistematis-rasional.
Sastrawan, sebagai
tuan atas hidup batin (rasa dan imaji), lalu mengekspresikan lewat kata-kata.
Kata-kata menjadi model dari kehidupan batin dan pribadi kita sebagai orang
yang selalu peka terhadap realitas. Puisi merupakan bentuk rekaan atau
imajinasi yang bisa membahasan kehidupan batin atau masyarakat menjadi hidup
privat.
Di sisi yang lain
sastrawan tampil, untuk mengekspresikan imajinasi dirinya, renungannya mengenai
kehidupan masyarakat, atau di pihak lain, lebih jauh melangkah berktekad ingin
menyodorkan, mencerahkan atau “menjatuhkan kerikil di danau tenang yang lalu
membuat pendar gelombang di atas air danau itu, semakin banyak yang menjatuhkan
kerikil, maka semakin gelombang-gelombang itu menjadi banyak dan ketenangan
danau diguncang-bangun”.
Sepertinya para
sastrawan menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit. Menurut bidan
Soctates dalam melahirkan kesadaran mengenai keindahan dan kebenaran. Dalam
bersikap sastrawan menghadapi komplikasi hak kemerdekaan ekspresi, maka ketika
terjadi konflik kepentingan antara kebebasan sastrawan dan aturan, bahasa
structural kepastian tentang tanggungjawab terhadap peradaban masyarakat
seringkali masung kreativitasnya.
Dalam hal ini,
sastrawan harus memiliki kesadaran untuk menjadi komentator kehidupan sosial
atau mengajak masyarakat untuk tidak hanya pada satu gelombang nilai
hedonis-materialistis dan kembali pada dasar religiusitas, solidaritas pada
yang sengsara dan papa dari sesame dan hormat pada martabat sesama manusia.
Namun, semua ini tidak akan bisa terolah menjadi matang sebagai ucapan
kejujuran nurani sastrawan-sastrawan, jika proses kreativitas di batasi. Maka,
jika di batasi, sastra yang kreativ akan sama posisinya dengan kesenian pesanan
yang telah diatur dan direkayasa oleh pengaturnya.
Artinya kita harus
sadar akan kesadaran dunia ini bahwa kesadaran bernilainya setiap manusia
sebagai sesama manusia. Maka, wilayah kebebasan berkreasi lalu menjadi wilayah
yang subjektifitas manusia. Sosiolog Max Weber memberi cara bagaimana memahami
subjektifitas individu dalam realitas social itu dengan metode verstehen,
pemahaman subjektivitas seseorang lewat tindakan-tindakannya yang dicoba
mengerti dampak sosialnya.
Dengan melihat
fenomena tersebut, kita melihat bahwa tempat-tempat “kebebasan berekspresi”
adalah wilayah “kesucian” hak asasi manusia. Sementara pengaturan terhadapnya
baru relevan kalau hasil kebebasan berkreasi itu mulai masuk ke wilayah
sosialitas manusia atau wilayah hidup bersama. Maka kita membutuhkan
penjernihan pembedaan ini harus dipertajam batasnya. Kalau batas “wilayah
subjek” dan “wilayah sosial” atau “objektifitas” manusia, maka akan jelas
pengaturannya. Singkatnya, wilayah subjek masyarakat (sastrawan) adalah wilayah
hak dan kebebasan untuk berkreasi dalam hal ini seni, puisi dan filsafat.
Sedang pada saat kreasi itu dimasyarakatkan atau dipublikasikan ke masyarakat,
maka kita mulai memasuki wilayah sosialitas dan objektivitas tadi.
Dengan membedakannya,
kita bisa menarik benang merah bahwa kesadaran menjadi sangat penting kita
tanam sebagai alat untuk mengolah rasa. Artinya rasa dalam hal ini menjadi penting
juga, karena dengan adanya ruang rasa sastrawan lebih sensitive terhadap diri
dan sekitarnya sebagai inspirasi kreatif. Dan sebagai renungan “sepertinya aku
tak bisa mengurai detik yang begitu rapat di apit gelombang”.
No comments:
Post a Comment