Wednesday, April 22, 2015

Stasiun Tak Bernama

akhirnya kita akan bertemu di garis yang sama.

di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut.

di tanah tanah bergelombang, dan gurun yang

berhutankan epitaf epitaf. engkau ukur

seberapa jauh yang sudah kita tempuh dengan doa

dan dosa, seperti keledai yang kecapaian, merangkak

dalam dengus dan mata terkatup katup.

tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah.

membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak

cahayanya dari mega yang usil!


kesabaran kita membeku di pintu peron. Rel rel

memanjang dan dingin. seperti itulah waktu yang

mengurungmu dalam lantunan lagu lagu sumbang.

tembang perkutut dan desis ula rular melata di hatimu.

mengelupas sisik sisik dan bisa yang mengerak

di dinding dinding hati. waktu dan ruang yang

berdesakan dalam menunggu. Baris baris gerimis

di kaca dan suram cahaya menembus kesunyian

yang kita dekap.


di atas rel yang hitam itu keranda keranda diusung

ke rumah rumah yang tak kita tuju. kubayangkan para

gembala menggiring domba domba hitam,

pulang senja.

mereka mengurai syair syair kesedihan dan lagu lagu

kehilangan. pulang, entah ke mana.


dan di sini kita mengukur waktu, sebelum

lokomotif itu menyeretmu. Gerbong gerbong

berderit dalam ngilu. lalu

mendadak kita tergagap: tiba tiba menemu jalan buntu.

kita sampai pada dinding waktu

yang tak bosan menunggu.



Oleh :

Dorothea Rosa Herliany

No comments:

Post a Comment