akhirnya kita akan bertemu di garis yang sama.
di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut.
di tanah tanah bergelombang, dan gurun yang
berhutankan epitaf epitaf. engkau ukur
seberapa jauh yang sudah kita tempuh dengan doa
dan dosa, seperti keledai yang kecapaian, merangkak
dalam dengus dan mata terkatup katup.
tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah.
membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak
cahayanya dari mega yang usil!
kesabaran kita membeku di pintu peron. Rel rel
memanjang dan dingin. seperti itulah waktu yang
mengurungmu dalam lantunan lagu lagu sumbang.
tembang perkutut dan desis ula rular melata di hatimu.
mengelupas sisik sisik dan bisa yang mengerak
di dinding dinding hati. waktu dan ruang yang
berdesakan dalam menunggu. Baris baris gerimis
di kaca dan suram cahaya menembus kesunyian
yang kita dekap.
di atas rel yang hitam itu keranda keranda diusung
ke rumah rumah yang tak kita tuju. kubayangkan para
gembala menggiring domba domba hitam,
pulang senja.
mereka mengurai syair syair kesedihan dan lagu lagu
kehilangan. pulang, entah ke mana.
dan di sini kita mengukur waktu, sebelum
lokomotif itu menyeretmu. Gerbong gerbong
berderit dalam ngilu. lalu
mendadak kita tergagap: tiba tiba menemu jalan buntu.
kita sampai pada dinding waktu
yang tak bosan menunggu.
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany
No comments:
Post a Comment