Saturday, August 15, 2015

Ada Daun Gugur

ada daun gugur

dekat pintu rumahku

dan warna kuningnya

mengabarkan dunia yang pecah

lewat tanah-tanah

hatiku gemetar

memandang namaku

yang mencari-cari rumah

akhirku


ada daun gugur

dekat jendela kamarku

dan warna terbakarnya

memandangku dingin



Oleh :

Isbedy Stiawan ZS

Friday, August 14, 2015

Ingin Kusuarakan

ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya

telinga dan kata-kata. bahkan lampu-lampu taman ini

akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa

lain. lalu dinding memagar tubuhku,

kesepian yang mendekam!


ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung

tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah

memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi

kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu

cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku

merokok limbah serta mengunyah beton!


ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi

punya suara. seribu iklan memadati halaman

demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah

anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana

kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang.

kemudian hening…


ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa

granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan

burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga

di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecemasan



Oleh :

Isbedy Stiawan ZS

Thursday, August 13, 2015

Bebatuan Itu Merintih

lalu bebatuan itu merintih. sejak kemarin matahari

memukul-mukulkan wajahnya di bebatuan. di sungai

yang mengalirkan darahnya

kubaca keperihan dunia: aku tak tahu di mana

lagi kusimpan kesumat ini?

begitu jauh aku terdampar. di pulau yang tak lagi mengenalku

bahkan aku makin asing pada pesta kematianku yang bakal tiba

ingin kumasuk lebih dalam untuk mengaduk-aduk udara

yang beku! Tuhan, di dunia-Mu yang semarak ini kenapa

aku seperti tak mencium aroma manusia?

lalu bebatuan itu merintih. matahari memandang

garang di ujung jalan yang akan memisahkan dunia ini

dengan lain dunia. aku tak lagi paham dengan suara

merdu dan rintihmu. ketika ranjangku bertengkar

dengan maut di malam sunyi itu

inilah perjalanan panjang bagi bebatuan. setelah hari-hari

ditikam sejuta pisau waktu. tak ada lagi sesal dan harapan

udara telah membawa senyum dan tangis pelayat

ke dalam doa yang beterbangan

lalu bebatuan itu merintih. tak ada lagi senyum

yang dinyanyikan sungai, kecuali taman

menjelma tiba-tiba



Oleh :

Isbedy Stiawan ZS

Wednesday, August 12, 2015

Mimpi

Aku bermimpi puteri Cina

Mau mengajaknya jalan-jalan

Tapi ibunya menjaganya, menjaganya dengan ketat


Dia rindu kepada Lian,

Dia terpekik menyambut aku

Tidak mengira aku cinta padanya

Aku bekerja, bekerja, bekerja

Habibie senang tersenyum

Senang tersenyum melihat aku bekerja


Buku-buku dicetak,

Buku-buku baru dan cetak ulang

Buku-bukuku dicetak

Banyak, banyak sekali


Aku salat, salat Tahajud,

Subuh, Lohor, Asar, Maghrib dan Isa,

Aku salat sanah tiap salat wajib

Dan mengirim doa kepada kedua orang tuaku,

Kepada Hamka dan kawan-kawanku

Subagio Sastrowardojo dan lain-lain


Hidupku hidup nyata dan impian

Tak dapat kubedakan mana yang nyata mana impian

keduanya sama dalam hidupku


Aku berdoa: Ya Allah,

Bukakanlah hati semua orang

Bukakan hatinya menerima Al-Quran Berwajah Puisi

Dan menyebarkannya keseluruh penjuru


Tak dapat aku bedaskan pengalaman nyata,

impian dan harapan

Aku membaca, bacaanku pun menjadi nyata

Aku terbang ke istana Harun Alrasyid,

Melihat Hikayat Seribu satu Malam


Pagi-pagi ku baca koran,

Berita-berita terlukis di mata

Waktu tidur berita menjadi nyata

Bercampur baur peristiwa dan impian

Apa yang masuk dan keluar benakku

Keduanya mempunyai nilai yang sama

Benakku sungguh luar biasa

Apa yang keluar dari benak Taufik Ismail, Hamid Jabbar,

dan Sutardji Calzoum Bachri, menjadi bagian dari benakku

Alangkah besar alangkah Agung Tuhanku!



Oleh :

H B Jassin

Tuesday, August 11, 2015

Karena Bukan Ensiklopedia

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.

Tentang apakah manusia tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja.

Tak ada pikiran tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati.

Tak ada apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.


Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.

Anda melihat bintang, aku belum ada dalam kerlipnya.

Anda melihat laut, aku belum ada dalam ombaknya.

Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum dalam tak ada?

Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar diamku dalam suara.

Melengking, merintih, jauh menuju tiada.



Oleh :

Gus tf

Monday, August 10, 2015

Mitologi

Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin di kamar Ibu.

''Itulah kamu,'' kata si Ibu seraya menerbangkan seekor burung ke dalamnya.

Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya merah muda.

''Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.''


Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu ke kamarnya.

Setiap ia berkaca, burung itu berkicau berputar-putar di atas kepala.

Apakah yang dikatakannya?


Atau adakah yang diinginkannya?

Bila dirinya tak ada, kadang ia merasa burung itu kesepian;

dan tentu menderita.


Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai jarang berkaca.

Burung itu, entah memang karena ia lupa, jarang pula tampak olehnya.

Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian dari bersama.

Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia melihatnya.

Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat suram dalam hidupnya.

Betulkah itu dia?


Kini ia telah tua.

Di depan cermin, pedih, ia sering merindukannya.

Burung itu -- burung itu, memang, sebenarnya tak pernah ada.



Oleh :

Gus tf

Sunday, August 9, 2015

Adakah

''Adakah engkau memiliki ibu?''

Sungguh ia sangat malu dengan pertanyaan itu.

Kata orang, ia muncul dari malam, dalam kelam, dari mitos penuh hantu.


''Adakah engkau memiliki anak?''

Sungguh ia sangat takut dengan pertanyaan itu.

Kata orang, ia punya anak tapi si anak tak pernah memiliki bapak.

Ia memiliki Putri, memiliki Putra, tapi tak pernah mendapat apa pun dari mereka.

Setiap malam, sebelum tidur, tak henti ia berdusta.

''Bu, dari mana kita? Mengapa kita ada?''

''Entah. Dari tanah. Tidurlah!''

Si Putra seperti tidur.

Si Putri Bagai mendengkur.

Si Putra mimpi jadi hujan.

Si Putri mimpi jadi genangan.

Tidakkah kita dari air?

Lihatlah. Cacing dan katak selalu muncul pada tempat yang baru digenangi hujan.


''Dari air!'' Si Putri tersentak dan berteriak.

Tapi si Putra, setiap pagi, tetap merasa bahwa mereka muncul dari televisi.


''Adakah engkau memiliki ibu?''

''Adakah engkau memiliki anak?''


: Ah, alangkah kacau pertanyaan itu.



Oleh :

Gus tf

Saturday, August 8, 2015

Daging

Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon di kepalaku.

Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan dada yang mengerang.

''Siapa Anda? Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia? Tolong.''


Tidak.

Tak ada kisah tentang dunia.

Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.

''Ini bulan, kuserpih dari seratku yang malam.

Ini matahari, kubeset dari kulitku yang siang.

Pada keduanya ada gerhana, tempat kau berpikir tentang tiada.''


Tentang tiada?


''Aku manusia! Diriku lahir karena ada. Siapa Anda?

Takkan aku bertanya kalau di mataku Anda tiada.

Takkan aku berkata kalau gugus galaksi gelap saja.

Takkan aku berpikir kalau semuanya sia-sia.

Siapa Anda?''


''Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.

Sudah mereka katakan aku cuma konon.

Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan engkau muntahkan...''



Oleh ;

Gus tf

Friday, August 7, 2015

Hal Tak Penting

Kami tidur setiap malam seperti kami bangun setiap pagi.

Apa yang bisa kami makan hari ini?

Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.

Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.

Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.


Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.

Lihat.

Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.

Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?

Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental

seperti agar-agar.

Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.

Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.

Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?

Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?

Kami tertawa-tawa.

Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.


Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.

Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''


Sungguh tak penting.

Ia manusia.

Si gila.

Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?



Oleh :

Gus tf

Thursday, August 6, 2015

Kita Pernah

Kita pernah berkenalan. Musim hujan, air

Memanjat selokan. Sebut aku kepasrahan,

Katamu, timbul-tenggelam dalam genangan

Dalam genangan, api menjilat rumah-rumah jamban

Wajahmu pucat, dan ketakutan. Sebut aku ketabahan

Katamu. Kayu dan arang mengerut dan mengerang. Engkau

Kemanakah bakal pulang? Berhari-hari berbulan-bulan

Kutunggu kau di koran-koran

Di koran-koran, seperti biasa, kau tidak ada. Gedung

Gedung didirikan dengan ketenangan. Demikian indah

Begitu megah deras pembangunan. Kota-kota tumbuh

Dari kegaiban. Tapi kita

Tapi kita pernah berkenalan. Berulangkali



Oleh :

Gus tf

Wednesday, August 5, 2015

Manusia Cacing

Mencari tapal tuahku. tanya, tanya, tanya

Kehilangan tahun, musim bertarung dengan cuaca

Ambar di jalan, kesturi di halaman, dupa di taman

Jadi debu di tangan. “Permainan?” tanyamu. Aku orang

Tak berlabuh, buat apa tahun jika kita tak saat. Hanya

Sari hidup (batas) cinta dengan akhirat

Tahun keluar dari orbit

Perjalanan yang luas, keluhmu. Satu titik. Tanya,

Tanya. Siapa menyambung apa, memburu perburuan apa

Dagingku (beraga) di atas sukma berjiwa. Makna,

Kuliti aspal jalan raya. O traffic light

Hendak ke mana

Tahun keluar dari manusia

Tanya, tanya, tanya. Cacing saja



Oleh :

Gus tf

Monday, August 3, 2015

Lidah

Beruntung aku punya lidah, sehingga bisa bicara

kutata kalimat alif bata, walau tak peduli hati patah

Betapa takjub aku pada lidah, tak bertulang pula

Lidah kubasahi ludah, begitu jika bermain lidah

Lidah bikin hati gundah, tubuhku jadi basah

Tapi ada orang tak tahu diri pada lidah

dipakainya lidah untuk sumpah serapah

Padahal lidah tajam bagai pedang membelah

Beruntung aku punya lidah, sehingga bisa bicara

tak peduli pada siapa benar siapa salah



Oleh :

Gola Gong

Sunday, August 2, 2015

Berkacalah Negeriku

Berkacalah, negeriku ketika mahasiswa menjadi bara, bara membara di seluruh negeri nyaw

 dijadikan coba-coba, coba-coba taruhannya nyawa masyarakat menangis dijadikan maling,

maling sungguhan tertawa-tawa fakta jadi isapan jempol, jempol dan telunjuk serupa pelatuk

(kemudian berakhir di meja-meja perundingan sambil mencungkili slilit dengan gelondongan

kayu) Berkacalah, negeriku ketika petani menanam padi, padi dimakan belalang, belalang

dimakan petani, petani menanam harapan, hutan jadi asap, asap terbang ke negeri tetangga,

tetangga sedia menyumbang, sumbangan membuat rakyat sengsara (kemudian para orangtua

menangisi masa depan sambil menyuapi bayi-bayi nusantara dengan susu air tajin)

berkacalah, negeriku, kau tak perlu berbedak berkacalah, negeriku, kau tak perlu malu

kebon jeruk, mei berdarah



Oleh :

Gola Gong

Saturday, August 1, 2015

Belajarlah Pada Alam

Belajarlah pada embun, tak pernah mengutuk matahari

Yang menjadikannya tiada, walau denyut masih panjang.

Sementara dinding-dindingku terbatas oleh hari

Melulu umpatan ketidakpastian yang lengang.

Belajarlah pada ikan, yang mengabdi pada nelayan

Yang membuatnya bermakna, walau terbelenggu

Kemiskinan.

Sementara kitab-kitab dan kisah nabi lelah kita baca

Menjadikan Alif bata terbentur ke dunia kaca.

Belajarlah pada katak, tak capek memanggili hujan

Walau diburu dan berujung di meja-meja restoran.

Sementara aku darah daging Illahi, belajar pada

Rahasia alam

Menjadikanku ada, tak lepas dari sujud malam.



Oleh :

Gola Gong