“Toean-toean, saja
mendjamin bahwa pemerintahan kita
tidak lagi popoeler,
baik di antara rakjat ketjil maoepoen
pedjabat boemiputra
rendahan ataoe pedjabat tinggi …
rasa tidak puas jang
merebak, baik di kalangan para bang-
sawan maoepoen
rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara
pemerintah dikelola
dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir
1900, muntjul
sematjam gerakan terorisme … ataoepoen
gerakan perlawanan
terhadap pemerintah. Tampaknja di
pusat birokrasi
pemerintahan tidak memahami makna ini
semua.” (P.J.F. van
Heutsz, 1904-06)
Aku dilanda kedatangan diriku sendiri, di sana dan di sini. Melihat
kegagalan yang terus-terang di setiap yang kuciptakan. Antara
mesin-mesin dan sistem dalam lubang kesunyian, pembelian dan
penjualan yang saling membuang. Hiburan dan barang-barang
yang dibeli di sana dan di sini. Kenangan dalam puing-puing
perubahan. Sisa-sisa hutang dalam peti mati tak terkunci. Pidato
musim hujan di semua saluran keadilan yang tenggelam. Tanah
dan suara api di atas meja makan. Kau dan aku berdiri di sini.
Tetapi tidak pernah berdiri bersama.
Aku memotret telapak tanganku sendiri, seperti memotret sebuah
kepulauan terbuat dari bubur kertas. Pengeluaran terus-menerus
di sana dan di sini, lebih panjang dari jalan yang kulalui ke depan
dan ke belakang. Suara gesekan butir-butir beras dalam panci,
seperti data-data ekonomi yang kehilangan mesin hitung. Hatiku
tenggelam dalam permainan sejarah dan baju untuk masuk surga.
Laporan keuangan yang berjalan-jalan di akhir tahun. Daya hidup
yang menjadi puing-puing dalam perdagangan ilmu pengetahuan,
data-data di sana dan di sini. Kesehatan yang diramalkan vitamin C
dan sikat gigi. Aku dilanda kedatangan diriku sendiri,
untuk membeli kesunyian, udara bersih dan lapangan
kerja.
Tuan-tuan, bisakah kegagalan dipotret, untuk melihat
bagaimana caranya kita tertawa dan tersenyum.
Bisakah kita memotret sikat gigi di tengah puing-
puing daya hidup yang terus digempur dari sana dan
dari sini. Daya hidup yang menjadi mainan pendaya-
gunaan kekerasan. Laporan pertumbuhan penduduk
yang menjadi api pada jam makan malam kita.
Tuan-tuan, bisakah kita membaca sekali lagi, dari
huruf-huruf tak bermakna. Dan mereka menciptakan
bahasa, dari setiap kegagalan, dari setiap sejarah luka
di sana dan di sini, dari dansa perpisahan di malam
minggu. Berdirilah kita di sini, seperti tanaman yang
menunggu tukang kebun. Tidak membiarkan sebuah
kepulauan menjadi saluran got bersama.
Tuan-tuan. Di sana dan di sini. Musim hujan yang
telah berwarna biru di kotamu.
Oleh :
Afrizal Malna
No comments:
Post a Comment