Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri.
Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama
Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu
nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi se- jumlah
pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan
sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti
Rosa mengecil jadi dirimu.
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa.
Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan aku
beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu
menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan
membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia
menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun
seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma
jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa
berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut
nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah
bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi
saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ... dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan
kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti
lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.
1989
Oleh :
Afrizal Malna
No comments:
Post a Comment