Sunday, October 5, 2014

Mantel Hujan Dua Kota


Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin

mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam

bangunan-bangunan kolonial. Minum persahabatan

dan melukis fotomu pada dinding musim hujan.

Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik:

kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah.

Dalam mantelnya, rokok kretek dan kartu atm.

Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil

ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan

jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak

muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues

dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku

telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji

pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain

kota bersama air laut dan hujan.


Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang

membuat lubangnya sendiri.


Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau

tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku

kembali bernapas setelah ribuan billboard kota

adalah mataku yang terus berputar, waktu yang

terasa perih. Rel kereta api masih menyimpan saham-

saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang

menyimpan telur ayam, mantel biru masih

menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi,

bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta

setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2

hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda

padat. Dan bir dingin di antara janji-janji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam

bersambung sepeda 6 jam pagi. Biarlah aku sampai

ke batas tepi ini. Sebuah kota yang terbuat dari jam

6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang

berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung sebelum

biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.



Oleh :

Afrizal Malna

No comments:

Post a Comment