Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan
kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang
elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku
hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk
menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti
berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini
setiap tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh
unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan
sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.” ...
Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras,
sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok.Ini
untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.
1993
Oleh :
Afrizal Malna
No comments:
Post a Comment