Tuesday, June 24, 2014

Sajak Mata - Mata


Ada suara bising di bawah tanah. 

Ada suara gaduh di atas tanah. 

Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. 

Ada tangis tak menentu di tengah sawah. 

Dan, lho, ini di belakang saya 

ada tentara marah-marah.

Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. 

Aku melihat isyarat-isyarat. 

Semua tidak jelas maknanya. 

Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara, 

menggangu pemandanganku.

Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Pendengaran dan penglihatan 

menyesakkan perasaan, 

membuat keresahan.

Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi 

terjadi tanpa kutahu telah terjadi. 

Aku tak tahu. Kamu tak tahu. 

Tak ada yang tahu.

Betapa kita akan tahu, 

kalau koran-koran ditekan sensor, 

dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol. 

Koran-koran adalah penerusan mata kita. 

Kini sudah diganti mata yang resmi. 

Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam. 

Kita hanya diberi gambaran model keadaan 

yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut. 

Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk. 

Mata pemerintah juga diancam bencana. 

Mata pemerintah memakai kacamata hitam. 

Terasing di belakang meja kekuasaan. 

Mata pemerintah yang sejati 

sudah diganti mata-mata.

Barisan mata-mata mahal biayanya. 

Banyak makannya. 

Sukar diaturnya. 

Sedangkan laporannya 

mirip pandangan mata kuda kereta 

yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan yang kabur, 

semua orang marah-marah. 

Rakyat marah, pemerinta marah, 

semua marah lantaran tidak punya mata. 

Semua mata sudah disabotir. 

Mata yang bebas beredar hanyalah mata-mata.


Oleh : 

W.S. Rendra

No comments:

Post a Comment