Itulah bidadari Cina
itu, dengan seekor kilin
dan menyeret kainnya
basah: menggigil dalam kuil
(daun-daun salam
berguguran dan di beranda
masih terdengar suara
hujan, hujan pasir) Ia
menunjukkan yin-yang
yang kabur di atas pintu
dan di mataku terasa
hembusan angin yang merabunkan
(lihatlah, ujarmu, ia
mengajak kita ke tempat sepi
di mana berdiri sebuah
makam kaisar yang mati
dalam pertempuran
merebut kota dari desa) Angin
berlarian
menghamburkan bau-bauan dari tangan
perempuan-perempuan
yang wangi dan kedinginan
di atas gapura
yin-yang yang mulai memuat lumut
dengan tulisan-tulisan
tua yang tak terbaca sudah
(langit adalah
bayang-bayang, kau menyesal
telah memimpikannya;
dan di sebelahnya
berdiri gedung, beribu
sungai dan tebing gunung
yang terbuat dari
batu, anggur dan lempung
yang kini menampakkan
bintang kemukus yang panjang)
Itulah bidadari Cina
itu dan mendekat ke arahmu
memandang dinding dan
bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti
(ia membeku jadi arca,
waktu tentara kaisar mulai
membangun kota di
langit) dan beribu mantra
memenuhi telinganya
yang tuli
Oleh :
Abdul Hadi Wiji Muthari
No comments:
Post a Comment