Saturday, August 23, 2014

Meditasi


Itulah bidadari Cina itu, dengan seekor kilin

dan menyeret kainnya basah: menggigil dalam kuil

(daun-daun salam berguguran dan di beranda

masih terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia

menunjukkan yin-yang yang kabur di atas pintu

dan di mataku terasa hembusan angin yang merabunkan

(lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita ke tempat sepi

di mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati

dalam pertempuran merebut kota dari desa) Angin

berlarian menghamburkan bau-bauan dari tangan

perempuan-perempuan yang wangi dan kedinginan

di atas gapura yin-yang yang mulai memuat lumut

dengan tulisan-tulisan tua yang tak terbaca sudah

(langit adalah bayang-bayang, kau menyesal

telah memimpikannya; dan di sebelahnya

berdiri gedung, beribu sungai dan tebing gunung

yang terbuat dari batu, anggur dan lempung

yang kini menampakkan bintang kemukus yang panjang)


Itulah bidadari Cina itu dan mendekat ke arahmu

memandang dinding dan bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti

(ia membeku jadi arca, waktu tentara kaisar mulai

membangun kota di langit) dan beribu mantra

memenuhi telinganya yang tuli



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

No comments:

Post a Comment