Sunday, August 17, 2014

Madura


Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu

ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal

dan sampan yang tenggelam di pintu cakrawala

Selamat pagi tanah kelahiran

Sebab aku tak menghitung untuk ke berapa kali

Kapan saat menebal pada waktu

Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu

Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian

Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat

dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan

dengan kerja serta dengan kehidupan?

Aku akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:


Ketenangan Selat Kamal

adalah ketenangan hatiku

membuang pikiran dangkal

yang mengganggu sajakku


kurangkul tubuh alam

seperti mula kelahiran Adam

sedang sesudah mengembara

baiklah kita rahasiakan


dari perjalanan ini

aku membawa timbun puisi

bahwa aku selalu asyik mencari

keteduhan mimpi


kebiruan Selat Kamal

adalah kebiruan sajakku

dan terasa hidup makin kekal

sesudah memusnah rindu


bertemu segala milik dan hak

dalam cinta dan sajak

noktah-noktah berdebu di bersihkan

di kedua tangan


kuberi pula salam sayup

kepada pantai yang berbatas pasir

dan langit yang mulai redup

pada waktu sajak lahir


Kedangkalan Sungai Sampang

adalah kedangkalan hatiku

menimbang hidup terlalu gamang

dan di situ ketergesaan mengganggu


dan terlalu tamak

dengan kesempurnaan

dengan sesuatu yang bukan hak

dengan kejemuan


tetapi sekali saat tiba juga

pada suatu tempat

tanpa petunjuk siapa-siapa

asal kita bersempat


mengerti juga kenapa kiambang

bertaut sepanjang sungai

dengan belukar dan kembang-kembang

sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya


Diamnya Sungai Sampang

adalah diamnya sajakku

sekali waktu banjir datang

sekali waktu airnya biru


dan bertetap tujuan

ke suatu muara

yang berasal dari suatu daerah pegunungan

untuk sumber pertama


Kerendahan Bukit Payudan

adalah kerendahan hatiku

menerima nasib dalam kehidupan

di atas kedua bahu


sesekali pernah kita

tidak tahu tentang kelahiran

dan bertakut menjadi tua

karena ancaman kematian


Keramahan Bukit Payudan

adalah keramahan sajakku

untuk mengerti kepastian

yang lebih keras dari batu


sesekali pernah kita

tidak tahu ke mana mengembara

kemudian muncul kembali di tanah kesayangan

dengan kehampaan di tangan


tak seorang menyambut datang

tak seorang menanti pulang

tak seorang menerima lapang

atau membacakan tembang-tembang


dan kesia-siaan begini

akan selalu kualami

namun tak selalu kusesali

sebab kubenam sebelum jadi


Keterpencilan desa Pasongsongan

adalah keterpencilan hatiku

sebelum memulai perjalanan

ke jauh kota dan pulau


tapi keabadian lautnya kini

telah mengembalikan cintaku

tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti

dan ditinggalkan rasa kebanggaanku


dan sebagai anak manusia

sekali aku minta istirah mengembara

berhenti membuat puisi yang mendera

dan berhenti memikat dara-dara


sebab di sinilah tumpahnya

darah kita pertama

dan terakhir berhentinya

mengaliri nadinya



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

No comments:

Post a Comment