Angin pelan-pelan
bertiup di pelabuhan kecil itu
ketika tiba, dengan
langit, pohon, terik, kapal
dan sampan yang
tenggelam di pintu cakrawala
Selamat pagi tanah
kelahiran
Sebab aku tak
menghitung untuk ke berapa kali
Kapan saat menebal
pada waktu
Sebab aku tahu yang
paling berat adalah rindu
Sangsi selalu
melagukan hasrat dan impian-impian
Dan adakah yang lebih
nikmat daripada bersahabat
dengan alam, dengan
tanah kelahiran, dan
dengan kerja serta
dengan kehidupan?
Aku akan mengatakan,
tapi tidak untuk yang penghabisan:
Ketenangan Selat Kamal
adalah ketenangan
hatiku
membuang pikiran
dangkal
yang mengganggu
sajakku
kurangkul tubuh alam
seperti mula kelahiran
Adam
sedang sesudah
mengembara
baiklah kita
rahasiakan
dari perjalanan ini
aku membawa timbun
puisi
bahwa aku selalu asyik
mencari
keteduhan mimpi
kebiruan Selat Kamal
adalah kebiruan
sajakku
dan terasa hidup makin
kekal
sesudah memusnah rindu
bertemu segala milik
dan hak
dalam cinta dan sajak
noktah-noktah berdebu
di bersihkan
di kedua tangan
kuberi pula salam
sayup
kepada pantai yang
berbatas pasir
dan langit yang mulai
redup
pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai
Sampang
adalah kedangkalan
hatiku
menimbang hidup
terlalu gamang
dan di situ
ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak
dengan kesempurnaan
dengan sesuatu yang
bukan hak
dengan kejemuan
tetapi sekali saat
tiba juga
pada suatu tempat
tanpa petunjuk
siapa-siapa
asal kita bersempat
mengerti juga kenapa
kiambang
bertaut sepanjang
sungai
dengan belukar dan
kembang-kembang
sebelum kita sampai ke
dasar dan muaranya
Diamnya Sungai Sampang
adalah diamnya sajakku
sekali waktu banjir
datang
sekali waktu airnya
biru
dan bertetap tujuan
ke suatu muara
yang berasal dari
suatu daerah pegunungan
untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit
Payudan
adalah kerendahan
hatiku
menerima nasib dalam
kehidupan
di atas kedua bahu
sesekali pernah kita
tidak tahu tentang
kelahiran
dan bertakut menjadi
tua
karena ancaman
kematian
Keramahan Bukit
Payudan
adalah keramahan
sajakku
untuk mengerti
kepastian
yang lebih keras dari
batu
sesekali pernah kita
tidak tahu ke mana
mengembara
kemudian muncul
kembali di tanah kesayangan
dengan kehampaan di
tangan
tak seorang menyambut
datang
tak seorang menanti
pulang
tak seorang menerima
lapang
atau membacakan
tembang-tembang
dan kesia-siaan begini
akan selalu kualami
namun tak selalu
kusesali
sebab kubenam sebelum
jadi
Keterpencilan desa
Pasongsongan
adalah keterpencilan
hatiku
sebelum memulai
perjalanan
ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya
kini
telah mengembalikan
cintaku
tanah yang pernah
tersia sebelum dimengerti
dan ditinggalkan rasa
kebanggaanku
dan sebagai anak
manusia
sekali aku minta
istirah mengembara
berhenti membuat puisi
yang mendera
dan berhenti memikat
dara-dara
sebab di sinilah
tumpahnya
darah kita pertama
dan terakhir
berhentinya
mengaliri nadinya
Oleh :
Abdul Hadi Wiji Muthari
No comments:
Post a Comment