Dan aku pun memandang
ke laut yang bangkit ke arahku
selalu kudengar
selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah
dan selamat pagi laut
kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam
menyanyikan yang tak
ada atau pagi atau senja? atau kata-kata
laut menyanyi lagi,
laut mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan
selamat pagi laut
kataku dan laut pun tersenyum, selamat pagi katanya
suaranya kedengaran
seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun
dan di atas sana hanya
bayang-bayang dari sinar matahari yang kuning keperak-perakan
dan alun yang
berbincang-bincang dengan pasir, tiram, lokan dan rumput-rumput di atas karang
dan burung-burung
bebas itu di udara bagai pandang asing kami yang lupa
selamat pagi laut
kataku dan selamat pagi katanya tertawa-tawa
kemudian bagai
sepasang kakek dan nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam
kami pun diam oleh
tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser dan terkam
menerkam
kalau maut suatu kali
mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami
atau bisikan ini yang
senantiasa merisaukan engkau: siapakah di antara kami
yang paling luas dan
dalam, air kebalaunya atau hati kami tempat kabut dan sinar selam menyelam?
Tapi laut selalu setia
tak pernah bertanya, ia selalu tersenyum dan bangkit ke arahku
laut melemparkan aku
ke pantai dan aku melemparkan laut ke batu-batu karang
andai di sana ada
perempuan telanjang atau kanak-kanak atau saatmu dipulangkan petang
laut tertawa padaku,
selamat malam katanya dan aku pun ketawa pada laut, selamat malam kataku
dan atas selamat malam
kami langit tergunang-guncang dan jatuh ke cakrawala senja
begitulah tak ada
sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama:
aku cinta pada laut,
laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang
mengucapkannya
Oleh :
Abdul Hadi Wiji Muthari
No comments:
Post a Comment