Seribu gerimis
menuliskan kemarau di jendela
Basah langit yang
sampai melepaskan senja
Bersama gemuruh yang
dilemparkan jarum jam, kata-kata
bermimpilah
bunga-bunga menyusun kenangannya
dari percakapan terik
dan hama
“Kau toreh bibirnya
yang merkah,” kata hama
“Dan kuhisap isi
jantungnya yang masih merah”
Kenapa ia tak terkulai
Dan masih bertahan
juga
Dan bersenyum pada
surya
yang mengunyah-ngunyah
airmatanya
Untukku ingar itu pun
senantiasa menyurat
Atau mimpi
Tapi angin masih saja
menggigil
Mendesakkan pago
Tuhan, kau hanya kabar
dari keluh
Burung-burung pun
asing di sana
karena jarak dan
bahasa
Oleh :
Abdul Hadi Wiji Muthari
No comments:
Post a Comment