Friday, July 4, 2014

Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon


Inilah sajakku, 

seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas, 

dengan kedua tangan kugendong di belakang, 

dan rokok kretek yang padam di mulutku.

Aku memandang zaman. 

Aku melihat gambaran ekonomi 

di etalase toko yang penuh merk asing, 

dan jalan-jalan bobrok antar desa 

yang tidak memungkinkan pergaulan. 

Aku melihat penggarongan dan pembusukan. 

Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi. 

Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran. 

Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang. 

Dan sebatang jalan panjang, 

punuh debu, 

penuh kucing-kucing liar, 

penuh anak-anak berkudis, 

penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.

Aku berjalan menempuh matahari, 

menyusuri jalan sejarah pembangunan, 

yang kotor dan penuh penipuan. 

Aku mendengar orang berkata : 

“Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana. 

Di sini, demi iklim pembangunan yang baik, 

kemerdekaan berpolitik harus dibatasi. 

Mengatasi kemiskinan 

meminta pengorbanan sedikit hak asasi” 

Astaga, ta”” kerbo apa ini !

Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ? 

Di negeri ini hak asasi dikurangi, 

justru untuk membela yang mapan dan kaya. 

Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa, 

dibikin tak berdaya.

O, kepalsuan yang diberhalakan, 

berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.

Aku mendengar bising kendaraan. 

Aku mendengar pengadilan sandiwara. 

Aku mendengar warta berita. 

Ada gerilya kota merajalela di Eropa. 

Seorang cukong bekas kaki tangan fasis, 

seorang yang gigih, melawan buruh, 

telah diculik dan dibunuh, 

oleh golongan orang-orang yang marah.

Aku menatap senjakala di pelabuhan. 

Kakiku ngilu, 

dan rokok di mulutku padam lagi. 

Aku melihat darah di langit. 

Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang. 

Yang kuasa serba menekan. 

Yang marah mulai mengeluarkan senjata. 

Baj***** dilawan secara baj*****. 

Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang. 

Bila pengadilan tidak menindak baj***** resmi, 

maka baj***** jalanan yang akan diadili. 

Lalu apa kata nurani kemanusiaan ? 

Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ? 

Apakah orang harus meneladan tingkah laku baj***** resmi ? 

Bila tidak, kenapa baj***** resmi tidak ditindak ? 

Apakah kata nurani kemanusiaan ?

O, Senjakala yang menyala ! 

Singkat tapi menggetarkan hati ! 

Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !

O, gambaran-gambaran yang fana ! 

Kerna langit di badan yang tidak berhawa, 

dan langit di luar dilabur bias senjakala, 

maka nurani dibius tipudaya. 

Ya ! Ya ! Akulah seorang tua ! 

Yang capek tapi belum menyerah pada mati. 

Kini aku berdiri di perempatan jalan. 

Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing. 

Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak. 

Sebagai seorang manusia.


Catatan :

baj***** gabungkan dengan ***ingan


Oleh : 

W.S. Rendra

No comments:

Post a Comment