
Monday, September 28, 2015
Sunday, September 27, 2015
Kisah Senja
Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang
ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket,
dan sepatu. “Aku mau kopi,” katanya
sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya.
Isterinya masih asyik di depan cermin, bersolek
menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi
dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan.
Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri
masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu."
Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas masuk
ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul, sendirian.
Sedang isterinya berlenggak-lenggok di cermin,
mematut-matut diri, senyum-senyum, sendirian.
“Kok belum cantik juga ya?”
Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis,
mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru.
Lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran.
“Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan
ransel, jaket, dan sepatu.” Si isteri belum juga rampung
memugar kecantikan di sekitar mata, bibir, dan pipi.
Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi.
Oleh :
Joko Pinurbo
Friday, September 25, 2015
Sehabis Tidur
Sehabis tidur lahan tubuh kita terus berkurang.
Kita belum sempat bikin rumah atau tempat perlindungan,
diam-diam sudah banyak yang merambah masuk, bermukim
di jalur-jalur darah
di kapling-kapling daging
di bukit-bukit sakit
di ceruk-ceruk kenangan
di kuburan-kuburan mimpi
di jurang-jurang ingatan
di gua-gua kata
di sumber-sumber igauan
Berdesakan, berebut ruang, sampai kita kehabisan tempat,
sampai harus mengungsi ke luar badan.
Oleh :
Joko Pinurbo
Monday, September 21, 2015
Minggu Pagi di Sebuah Puisi
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf
yang bergegas pergi, pergi berbasah-basah ke sebuah ziarah.
Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun2 aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan - panggil: sepasang kehilangan-
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata
"Ibu hendak ke mana?" Perempuan muda itu menyapa.
"Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan," jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya
"Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh," kata gadis itu sambil bersimpuh.
Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya: "Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan senjata telah menjarah
perempuan lemah ini.
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina
pada dinding gua yang pecah-pecah, yang lapuk
pada liang luka, pada gawuk yang remuk."
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari mulai terang, kata-kata telah pulang
dari makam, iring-iringan demonstran
makin panjang, para serdadu
berebutan kain kafan, dan dua perempuan
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?
Oleh :
Joko Pinurbo
Kereta Api Menuju Jakarta
Di jalan lempang menuju Jakarta
Kau dendangkan lagu cinta
Pada bulan kita titipkan bahagia
Hari esok sebentar lagi tiba
Tapi beribu pelor menggedor
Dalam horror dan terror
Dan seorang tiba-tiba mengaduh:
Ibu, telah kulihat wajah pembunuh
Bulan jatuh, langit runtuh
Dan kita rubuh
Jadi, petik saja bunga
Dan kembalikan kepada bunda
Buat kekasih bernama Jakarta
Berikan satu kerdipan saja
Oleh :
Joko Pinurbo
Saturday, September 19, 2015
Akhir Kata
O, Tuhanku,
Biarkan aku menjadi embunmu,
Memancarkan terangmu,
Sampai aku hilang lenyap olehnya….
Soli Deo Gloria!
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Friday, September 18, 2015
Melati
Tempat ini tida’ kucari,
Bukan olehku tempat dipilih,
Melainkan Tuhan sudah gemari,
Saya berkembang di tempat geli!
Hatiku sungguh riang senang,
Dalam tempat yang ia berikan,
Di sini saya pancarkan terang,
Seperti Ia sudah tentukan!
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Monday, September 14, 2015
Anakku
engkau datang mengintai hidup,
engkau datang menunjukkan muka,
tapi sekejap matamu kaututup,
melihat terang anaknda tak suka.
mulut kecil tiada kau buka,
tangis teriakmu takkan diperdengarkan
alamat hidup wartakan suka,
kau diam, anakku, kami kautinggalkan.
sedikit pun matamu tak mengerling,
memandang ibumu sakit terguling,
air matamu tak bercucuran,
tinggalkan ibumu tak berpenghiburan.
kau diam, diam, kekasihku,
tak kaukatakan barang pesanan,
akan penghibur duka didadaku,
kekasihku, anakku, mengapa kain?
sebagai anak melalui sedikit,
akan rumah kami berdua,
tak anak tak insyaf sakit,
yang diderita orang tua.
tangan kecil lemah tergantung,
tak diangkat memeluk ibumu,
menyapu dadanya, menyapu jantung,
hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
selekas anaknda datang,
selekas anaknda pulang.
tinggalkan ibu sakit terlintang,
tinggalkan bapak sakit mengenang.
selamat jalan anaknda kami,
selamat jalan kekasih hati.
anak kami Tuhan berikan,
anak kami Tuhan panggilkan,
hati kami Tuhan hiburkan,
nama Tuhan kami pujikan.
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Saturday, September 12, 2015
Di Lerang Gunung
Di lerang gunung,
Aku termenung,
Duduk di sisi,
Kekasih hati.
Kamu berpandangan sejurus lama,
Dan mengerti bisikan sukma.
Dada yang debar,
Terang menggambar,
Keadaan hati,
Sesudah menanti,
Sekian lama akan waktu,
Di mana jiwa kami bersatu.......
0, Hidup! Betapa indah,
Kalau kasih ta' diperintah,
hanya dengan sendiri
itu datang memberi !
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Friday, September 11, 2015
Kucari Jawab
Di mata air, di dasar kolam,
Kucari jawab teka-teki 'alam.
Di kawan awan kian kemari,
di situ juga jawabnya kucari.
Di warna bunga yang kembang.
Kubaca jawab, penghilang bimbang,
Kepada gunung penjaga waktu.
kutanya jawab kebenaran tentu,
Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tiada tercerai
Ya, Allah yang Maha - dalam,
Berikan jawab teka-teki alam.
0, Tuhan yang Maha - tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi'
Hatiku haus 'kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang ..............
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Thursday, September 10, 2015
Perasaan Seni
Bagaikan banjir gulung gemulung,
Bagaikan topan seruh menderuh,
Demikian rasa
Datang semasa,
Mengalir, menimbun, mendesak mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh.
Serasa manis sejuknya embun
Selagu merdu dersiknya angin,
Demikian Rasa
datang sesama,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat dingin.
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
Kusedia hati
Akan berbakti,
Dalam tubuh kau berkuasa,
Dalam dada kau bertakhta !
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Wednesday, September 9, 2015
Sukma Pujangga
O lepaskan daku dari kurungan,
Terus menjelma, Ke Indah Kata!
Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyebrang harungan,
Mencari Cinta, Kasih dan Sayang.
Aku tak ingin dipagari rupa!
Kusuka terbang tinggi ke atas,
Meninjau hidup aneka puspa,
Dalam alam yang tak terbatas …
Tak mau diikat erat-erat,
Kusuka merdeka mengabdi seni,
Kuturut hanya semacam syarat,
Syarat gerak sukma seni.
Kusuka hidup! Gerakan sukma,
Yang terpancaran dalam mata.
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Tuesday, September 8, 2015
Di Pantai, Waktu Petang
Mercak-mercik ombak kecil memecah,
Gerlap-gerlip sri syamsu mengerling,
Tenang-menyenang terang cuaca,
Biru kemerahan pegunungan keliling.
Berkawan-kawan perahu nelayan,
Tinggalkan teluk masuk harungan,
Merawan-rawan lagunya nelayan,
Bayangan cinta kenang-kenangan.
Syamsu menghintai di balik gunung,
Bulan naik tersenyum simpul.
Hati pengarang renung termenung,
Memuji rasa-sajak terkumpul.
Makin alam lengang dan sunyi,
Makin merindu Sukma menyanyi
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Monday, September 7, 2015
Bulan Terang
Sunyi lengang alam terbentang,
Udara jernih tenang.
Di langit mengerlip ribuan bintang,
Bulan memancar caya senang.
Angin mengembus tertahan-tahan,
Dan berbisik rasa kesukaan.
Bulan beralih perlahan-lahan,
Menuju magrib tempat peraduan.
Hati yang masygul menjadi senang,
Sukma riang terbang melayang,
Karna lahir Kerinduan semalam:
Ribaan Hua yang kukenang,
Kudapat t’rang, kasih dan sayang,
Serta damai hati di dalam
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Sunday, September 6, 2015
Di Bawah Pohon
Daunan kayu permainan angin,
Sinarnya syamsu hinggap di dahan,
Wayu berembusan hawa yang dingin,
Semerbak bunga berkelimpahan.
Duduk berdua dalam percintaan,
Lupakan alam makhluk semua.
S’mbari merangkai tali kerinduan,
Hubungkan sukma kami berdua.
Adindaku! Di sini kita senang,
Kini cinta berlimpah di mata,
Kasih yang merindu susah ditahan;
Untung selamat selalu dikenang,
Persatuan jiwa bertambah nyata,
Yang kekalan, anugrah Tuhan.
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Saturday, September 5, 2015
Berikan Daku Belukar
Terhanyut oleh aliran zaman, Indahlah taman,
Aku terdampar di dalam taman, Indahlah taman,
Kuheran amat, Di mata zaman!
Memandang tempat! . . . . . . . . . . . . .
Di situ nyata kuasa otak, Dan kalau hari sudah petang,
Taman dibagi berpetak-petak, Ribuan orang ke taman datang,
Empat segi, tiga segi . . . . . . . . . . . . .
Yang coreng-moreng tak ada lagi. Berikan daku Belukar saja,
Rumput digunting serata-rata. Tempat aku memuji Rasa!
Licin sebagai birun kaca.
Bunga ditanam beratur-atur,
Tegak sebagai bijian catur.
Jalan digaris selurus-lurus,
Bersih, sehari disapu terus!
Oleh :
J. E. Tatengkeng
Subscribe to:
Posts (Atom)