Sunday, May 3, 2015

Banyak Simpang, Kota Tua : Melankolia

selalu, setiap perjalanan keluh kesah itu

kau tak ingin sampai, di atas andong kau

bertanya siapa di antara kita kusirnya

kau tak ingin sampai, di setiap tikungan

membaca arah angin dan nama nama gang.


orang orang, selalu seperti memulai hari

berangkat dan pulang, bergegas, dan entah siapa

memburu dan siapa diburu.

kita pun melangkah di antara perjalanan keluh kesah.

dan selalu gagal membaca arah.


ada yang selalu mengantarmu ke segenap arah,

desa demi desa, tapi akhirnya

kau hanya sendiri di atas catatan duka

di deretan hari, mengapa selalu kau buka buku harian

:sebab katamu, kenangan itu racun.

hari ini aku melihat wajahmu

seperti patung patung gerabah di Kasongan.

lalu hatiku tertawa, mengejek kenyataan hidup.

sebab masa lalu itu racun, dan kita

bersenang senang atas kesedihan hari ini.

maka, jika rindu, pulang saja ke hotel, dan gambarlah

rumah dan hiruk pikuk kotamu yang angkuh.


kutunggu engkau di stasiun, beberapa jam usiaku hilang,

kutunggu sepanjang rel dan bangku bangku yang bisu.

kuingin Yogya, untuk seluruh waktu senggangmu,

sebab hidup mesti dihitung dan setiap tetes keringat

dan untuk itulah aku menanggalkan detik demi detik usiaku?

kutunggu engkau di stasiun, hingga detik menjadi tahun.


kukira Joan Sutherland dan Mozart dalam Die Zauberflote.

tapi seorang perempuan kecil meminta sekeping uang logam,

dan menyanyikan kesedihan yang membeku di matahari terik

dan aspal membara,

tak selesai, ya, memang tak pernah selesai.

hanya mulutnya yang bergerak gerak di luar kaca

dan suara mencekam Sutherland.

Yogya semakin tua, dan dimana mana kudengar

cerita cerita kesedihan.

tapi di pasar Ngasem, engkau bisa membeli

seekor burung yang tak henti berkicau,

dan menjadi begitu pendiam saat kau bawa pulang.


sebuah surat kutemukan di Malioboro,

tampaknya seorang gadis telah patah hati,

dan mencari kekasihnya di etalase etalase

dan di antara tumpukan barang barang kaki lima,

tak kutemu, di seluruh sudut kota ini pun tak ada

bayang bayang kekasih itu.

kutemukan surat itu, dan ku kirimkan kembali

entah ke mana, suatu hari kau menemuiku,

dan membawa segenggam surat hitam: tak beralamat,

tapi kau tak pernah membacanya,

dan aku menulis kembali surat demi surat tak beralamat

dan tak kukirim ke manapun.


rindu kadang menyakitkan

tapi apa yang disembunyikan kota lama ini?

seseorang tak ingin pergi

dan membangun sebuah rumah siput.

seseorang tak ingin pergi

dan mencatat berderet peristiwa

untuk menjadikannya hanya kenangan.



Oleh :

Dorothea Rosa Herliany

No comments:

Post a Comment