Saturday, September 27, 2014

Seminar Puisi Di Selat Sunda


Untuk Goenawan Mohamad


Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok

yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama.

Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah

revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal

perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah

perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki

kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,

atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau

duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung

krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata

yang menggerutu.


Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan

berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga

sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang

terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu

kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau

berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia

yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang

lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara

perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil

tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap

tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi,

di pangkuan seorang perempuan.


“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian

seorang ibu.”


Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di

depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat

ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk

membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me-

nyimpan kartu pos patung liberty di saku

mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard

Cohen yang parau: Dance me to the end of love.

Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di

antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang

lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah

restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal,

sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi

3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara

gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”


Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah

pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti

menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,

Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu

dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali

di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula

membenamkan akal sehat ke dalam keuangan

negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah

aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua

telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan

telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran

kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan

bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri

yang masih tertidur di sebuah kereta.


Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang

penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang

wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah

kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen-

dela kaca. Sebuah kantor majalah yang

kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang

dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan

sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta

dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya

di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau

mengubah kenangan tentang mantel yang dikena-

kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari

warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali

ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng-

gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.


“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar

kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”


Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang

sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai

dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak

tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim

hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar.

Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti.

Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah

puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di

halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum

gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk

menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai

dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya.

Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus

di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah

telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi

tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah

dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar

di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk

meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang.

Tetapi.


Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai

bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap

dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus

bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri.

Langkah yang menciptakan anak-anak tangga

daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri.

Apakah dia sedang turun – apakah dia sedang naik.

Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada

setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk

tidak mengatakan apapun tentang luka yang

tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan.

Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau

pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran

yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi

gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun

yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat

dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan

Yudhistira.


Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan

seperti dengan suara kertas koran yang diremas.

Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti

sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang

samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi

itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.


“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah

luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat,

dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin

yang mengirim garam, menjaga musim hujan di

Utara. Di sini.



Oleh :

Afrizal Malna

No comments:

Post a Comment