Monday, September 28, 2015

Malam Pembredelan



Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.

Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore

bersiap menyaksikan kematiannya.

Malam sangat ngelangut, seperti masa muda

yang harus bergegas ke pelabuhan,

meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.


Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai

menghadapi detik-detik akhir kehancuran.

Ia mengenakan pakaian serba putih

dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.

Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi

di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu.


“Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua

yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,

suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti

tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”


Ia berdiri di ambang pintu.

Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.

Mereka gemetar dan memandang ragu.

“Maaf, kami agak gugup.

Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.

Kami melihat kata-kata berbaris gagah

di sekitar bola mata Anda.”


“Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar

dan pura-pura menghibur saya.

Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata

akan balik menyerang Saudara.”


“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa

kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.

Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.”


“Ah, itu kan hanya kata-kata.

Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.”


Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.

Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang

lenyap ditelan malam dan hujan.


Sementara di atas seratus halaman majalah

yang seluruhnya kosong dan lengang

kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.

Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:

"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,

adalah bunga-bunga yang berebut warna,

adalah warna-warna yang berebut cahaya,

adalah cahaya yang berebut cakrawala,

adalah cakrawala yang berebut saya."


Lalu ia tidur pulas.

Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya. 



Oleh : 

Joko Pinurbo

Sunday, September 27, 2015

Kisah Senja


Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang

ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket,

dan sepatu. “Aku mau kopi,” katanya

sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya.


Isterinya masih asyik di depan cermin, bersolek

menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi

dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan.

Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri

masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu."


Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas masuk

ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul, sendirian.

Sedang isterinya berlenggak-lenggok di cermin,

mematut-matut diri, senyum-senyum, sendirian.

“Kok belum cantik juga ya?”


Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis,

mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru.

Lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran.


“Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan

ransel, jaket, dan sepatu.” Si isteri belum juga rampung

memugar kecantikan di sekitar mata, bibir, dan pipi.

Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi.



Oleh : 

Joko Pinurbo

Friday, September 25, 2015

Sehabis Tidur


Sehabis tidur lahan tubuh kita terus berkurang.

Kita belum sempat bikin rumah atau tempat perlindungan,

diam-diam sudah banyak yang merambah masuk, bermukim

di jalur-jalur darah

di kapling-kapling daging

di bukit-bukit sakit

di ceruk-ceruk kenangan

di kuburan-kuburan mimpi

di jurang-jurang ingatan

di gua-gua kata

di sumber-sumber igauan

Berdesakan, berebut ruang, sampai kita kehabisan tempat,

sampai harus mengungsi ke luar badan.



Oleh :

Joko Pinurbo

Monday, September 21, 2015

Minggu Pagi di Sebuah Puisi


Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah

ketika hari masih remang dan hujan, hujan

yang gundah sepanjang malam

menyirami jejak-jejak huruf

yang bergegas pergi, pergi berbasah-basah ke sebuah ziarah.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun2 aksara

di sepanjang via dolorosa.

Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.

Sepasang perempuan - panggil: sepasang kehilangan-

berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata

"Ibu hendak ke mana?" Perempuan muda itu menyapa.

"Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:

tempat penculikan," jawab ibu yang pemberani itu

sambil menunjukkan potret anaknya

"Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:

surga para perusuh," kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.

Lalu katanya: "Ia telah menciumku sebelum diseret

ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi

bahwa agama dan senjata telah menjarah

perempuan lemah ini.

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya

pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina

pada dinding gua yang pecah-pecah, yang lapuk

pada liang luka, pada gawuk yang remuk."

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah

ketika hari mulai terang, kata-kata telah pulang

dari makam, iring-iringan demonstran

makin panjang, para serdadu

berebutan kain kafan, dan dua perempuan

mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?



Oleh :

Joko Pinurbo

Kereta Api Menuju Jakarta

Di jalan lempang menuju Jakarta

Kau dendangkan lagu cinta

Pada bulan kita titipkan bahagia

Hari esok sebentar lagi tiba

Tapi beribu pelor menggedor

Dalam horror dan terror

Dan seorang tiba-tiba mengaduh:

Ibu, telah kulihat wajah pembunuh

Bulan jatuh, langit runtuh

Dan kita rubuh

Jadi, petik saja bunga

Dan kembalikan kepada bunda

Buat kekasih bernama Jakarta

Berikan satu kerdipan saja 



Oleh :

Joko Pinurbo


Saturday, September 19, 2015

Akhir Kata


O, Tuhanku,

Biarkan aku menjadi embunmu,

Memancarkan  terangmu,

Sampai aku hilang lenyap olehnya….

Soli Deo Gloria!

Oleh :

J. E. Tatengkeng

Friday, September 18, 2015

Melati



Tempat ini tida’ kucari,

Bukan olehku tempat dipilih,

Melainkan Tuhan sudah gemari,

Saya berkembang di tempat geli!

Hatiku sungguh riang senang,

Dalam tempat yang ia berikan,

Di sini saya pancarkan terang,

Seperti Ia sudah tentukan!



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Monday, September 14, 2015

Anakku



engkau datang mengintai hidup,

engkau datang menunjukkan muka,

tapi sekejap matamu kaututup,

melihat terang anaknda tak suka.

mulut kecil tiada kau buka,

tangis teriakmu takkan diperdengarkan

alamat hidup wartakan suka,

kau diam, anakku, kami kautinggalkan.

sedikit pun matamu tak mengerling,

memandang ibumu sakit terguling,

air matamu tak bercucuran,

tinggalkan ibumu tak berpenghiburan.

kau diam, diam, kekasihku,

tak kaukatakan barang pesanan,

akan penghibur duka didadaku,

kekasihku, anakku, mengapa kain?

sebagai anak melalui sedikit,

akan rumah kami berdua,

tak anak tak insyaf sakit,

yang diderita orang tua.

tangan kecil lemah tergantung,

tak diangkat memeluk ibumu,

menyapu dadanya, menyapu jantung,

hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.

selekas anaknda datang,

selekas anaknda pulang.

tinggalkan ibu sakit terlintang,

tinggalkan bapak sakit mengenang.

selamat jalan anaknda kami,

selamat jalan kekasih hati.

anak kami Tuhan berikan,

anak kami Tuhan panggilkan,

hati kami Tuhan hiburkan,

nama Tuhan kami pujikan.



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Saturday, September 12, 2015

Di Lerang Gunung

Di lerang gunung,

Aku termenung,

Duduk di sisi,

Kekasih hati.


Kamu berpandangan sejurus lama,

Dan mengerti bisikan sukma.


Dada yang debar,

Terang menggambar,

Keadaan hati,

Sesudah menanti,


Sekian lama akan waktu,

Di mana jiwa kami bersatu.......


0, Hidup! Betapa indah,

Kalau kasih ta' diperintah,

hanya dengan sendiri

itu datang memberi !



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Friday, September 11, 2015

Kucari Jawab

Di mata air, di dasar kolam,

Kucari jawab teka-teki 'alam.


Di kawan awan kian kemari,

di situ juga jawabnya kucari.


Di warna bunga yang kembang.

Kubaca jawab, penghilang bimbang,


Kepada gunung penjaga waktu.

kutanya jawab kebenaran tentu,


Pada bintang lahir semula,

Kutangis jawab teka-teki Allah.


Ke dalam hati, jiwa sendiri,

Kuselam jawab! Tiada tercerai


Ya, Allah yang Maha - dalam,

Berikan jawab teka-teki alam.


0, Tuhan yang Maha - tinggi,

Kunanti jawab petang dan pagi'


Hatiku haus 'kan kebenaran,

Berikan jawab di hatiku sekarang ..............



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Thursday, September 10, 2015

Perasaan Seni


Bagaikan banjir gulung gemulung,

Bagaikan topan seruh menderuh,


Demikian rasa

Datang semasa,


Mengalir, menimbun, mendesak mengepung

Memenuhi sukma, menawan tubuh.


Serasa manis sejuknya embun

Selagu merdu dersiknya angin,


Demikian Rasa

datang sesama,


Membisik, mengajak, aku berpantun,

Mendayung jiwa ke tempat dingin.


Jika kau datang sekuat raksasa,

Atau kau menjelma secantik juita,


Kusedia hati

Akan berbakti,


Dalam tubuh kau berkuasa,

Dalam dada kau bertakhta !



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Wednesday, September 9, 2015

Sukma Pujangga


O lepaskan daku dari kurungan, 

Terus menjelma, Ke Indah Kata!

Biarkan daku terbang melayang,

Melampaui gunung, nyebrang harungan,

Mencari Cinta, Kasih dan Sayang.

Aku tak ingin dipagari rupa!

Kusuka terbang tinggi ke atas,

Meninjau hidup aneka puspa,

Dalam alam yang tak terbatas …

Tak mau diikat erat-erat,

Kusuka merdeka mengabdi seni,

Kuturut hanya semacam syarat,

Syarat gerak sukma seni.

Kusuka hidup! Gerakan sukma,

Yang terpancaran dalam mata. 



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Tuesday, September 8, 2015

Di Pantai, Waktu Petang


Mercak-mercik ombak kecil memecah,

Gerlap-gerlip sri syamsu mengerling,

Tenang-menyenang terang cuaca,

Biru kemerahan pegunungan keliling.

Berkawan-kawan perahu nelayan,

Tinggalkan teluk masuk harungan,

Merawan-rawan lagunya nelayan,

Bayangan cinta kenang-kenangan.

Syamsu menghintai di balik gunung,

Bulan naik tersenyum simpul.

Hati pengarang renung termenung,

Memuji rasa-sajak terkumpul.

Makin alam lengang dan sunyi,

Makin merindu Sukma menyanyi



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Monday, September 7, 2015

Bulan Terang



Sunyi lengang alam terbentang,

Udara jernih tenang.

Di langit mengerlip ribuan bintang,

Bulan memancar caya senang.

Angin mengembus tertahan-tahan,

Dan berbisik rasa kesukaan.

Bulan beralih perlahan-lahan,

Menuju magrib tempat peraduan.

Hati yang masygul menjadi senang,

Sukma riang terbang melayang,

Karna lahir Kerinduan semalam:

Ribaan Hua yang kukenang,

Kudapat t’rang, kasih dan sayang,

Serta damai hati di dalam



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Sunday, September 6, 2015

Di Bawah Pohon


Daunan kayu permainan angin,

Sinarnya syamsu hinggap di dahan,

Wayu berembusan hawa yang dingin,

Semerbak bunga berkelimpahan.

Duduk berdua dalam percintaan,

Lupakan alam makhluk semua.

S’mbari merangkai tali kerinduan,

Hubungkan sukma kami berdua.

Adindaku! Di sini kita senang,

Kini cinta berlimpah di mata,

Kasih yang merindu susah ditahan;

Untung selamat selalu dikenang,

Persatuan jiwa bertambah nyata,

Yang kekalan, anugrah Tuhan.



Oleh :

J. E. Tatengkeng

Saturday, September 5, 2015

Berikan Daku Belukar


Terhanyut oleh aliran zaman, Indahlah taman,

Aku terdampar di dalam taman, Indahlah taman,

Kuheran amat, Di mata zaman!

Memandang tempat! . . . . . . . . . . . . .

Di situ nyata kuasa otak, Dan kalau hari sudah petang,

Taman dibagi berpetak-petak, Ribuan orang ke taman datang,

Empat segi, tiga segi . . . . . . . . . . . . .

Yang coreng-moreng tak ada lagi. Berikan daku Belukar saja,

Rumput digunting serata-rata. Tempat aku memuji Rasa! 

Licin sebagai birun kaca. 

Bunga ditanam beratur-atur, 

Tegak sebagai bijian catur. 

Jalan digaris selurus-lurus, 

Bersih, sehari disapu terus! 



Oleh :

J. E. Tatengkeng