Tuesday, March 31, 2015

Vacuite

Angin menepi ke pinggir-pinggir kali

Menyeret gairah alamku ke batu-batu

Sepi seakan abadi


Pohon-pohon berkakuan, membekukan udara

Rumput-rumput bertegakan ke angkasa

Hampa seakan membahana


Dan ibuku, curahan segala rindu

Dalam terpaku batu nisan:

Aku meniti jembatan air mata dan doa!



Oleh :

Beni R Budiman

Monday, March 30, 2015

Reversibilite

Diwana Fikri Aghniya


Hanya padamu anakku, seorang ayah dengan kecintaan

Biru langit yang luas mabuk. Diam dalam harapan dan

Doa panjang. Gunung-gunung batu yang keras menjulang

Sujud di pangkuanmu. Ombak dan sungai mengikuti jejak

Kakimu. Di matamu ribuan burung bersarang dan terbang

Dan mengubah fantasiku sebagai Peter Pan dan Sulaeman


(Kau ibarat kelanaku yang silam. Dermaga setiap kapal

Kau cermin langit penjiarah yang lelah hendak pulang)


Hanya padamu anakku, seorang ayah yang luka-luka pasrah

Dan tak henti mengekalkan impiannya di hari yang selalu

Malam. Kaulah kemerdekaan itu, Pangeran Kecil. Titik api

Bagi gulita dan musim yang dingin. Kaulah hamparan peta

Yang menunjuk arah rumah. Lahirmu mengekalkan kenangan



Oleh :

Beni R Budiman

Sunday, March 29, 2015

Rhinoceros

Menatap belantara dunia, para pengembara hilang

Peta, dan penyair habis kata. Tinta dan cuaca

Berhamburan ke sembarang udara. Pohon-pohon tinggal

Tulang tanpa cabang. Gunung-gunung menyisakan

Rangka. Sepanjang hari sungai tohor. Badak-badak


Terus berkubang tak beranak. Kunang-kunang terbang

Tanpa cahaya. Kumbang dan kupu-kupu kehilangan bunga

Berwarna. Dan jengkrik bernyanyi di setiap bentang

Kota tanpa suara. Semua nada sama sumbang di telinga


Bercermin pada rimba dunia, aku berganti rupa. Berubah

Wajah. Kulit bersisik dan tebal. Dan kepala tumbuh Cula.

Tak ada beda antara pria dan wanita. Semua kebal

Senjata. Mata dan telinga awas pada bahaya. Malu tak

Punya. Hanya rasa takut akut. Takut jika maut berpagut!



Oleh :

Beni R Budiman

Saturday, March 28, 2015

Sepanjang Namamu

Belum lengkap kusebut namamu. Sedangkan

Fajar telah lama mekar. Kabut pagi terus

Beringsut. Dan burung-burung bersiut-siut

Di antara reranting nangka milik tetangga


Mestinya telah kupanggil namamu berkali-kali

Ketika matahari membakar separuh rambutku

Bayang-bayang tubuhku menciut lebih pendek

Dari aslinya. Lalu kucium mesra keningmu


Masih tak kuseru namamu. Ketika para petani

Mulai menyirami bunga kol. Dan batang labu

Mengendorkan lilitannya di setiap pagar bambu

Tiang listrik berbayang-bayang lebih panjang


Tak kueja juga namamu. Padahal lembayung telah

Berkelebat di rerimbun markisa. Burung-burung

Bergegas pergi ke sarang di atas sunyi perigi

Dan matahari berkemas sembunyi ke balik bukit


Harusnya kukekalkan cinta sepanjang namamu

Sebelum kota sepi. Dan kita terbaring bersama

Mimpi. Tenggelam dalam temaram lampu. Hitam

Sepanjang malam. Lalu diam sepanjang namamu



Oleh :

Beni R Budiman

Friday, March 27, 2015

Kadipaten

Dua rel kereta membagi kota yang tak mau

Mati. Lalu lalang orang sepanjang lorong

Pasar. Kendaraan yang datang dan pulang

Menghardik sepi, tapi juga membawa nyeri


(Aku masih terkenang ketika tanganmu, ayah

melayang pada kedua pipiku. "Aku ingin

bebas seperti unggas lepas," pekikku)


Dua rel bergetar. Angin kumbang berpusar

Di atas trotoar. Aku pun terkapar di setiap

Kamar yang membakar. "Selamat tinggal, ayah

Sebab setiap tempat adalah alamat. Tenanglah!"



Oleh :

Beni R Budiman

Thursday, March 26, 2015

Solitaire

Kota larut dalam hujan. Cahaya-cahaya pun

Kabur terkubur. Pucuk-pucuk kelapa gemetar

Bambu-bambu kuning saling merapatkan pelukan

Menancapkan kuku-kukunya pada tanah dalam

Sampai gemerutuk sepi membentang sepanjang


Kawat listrik, menegang. Petir turun. Anakku

Menangis keras, memecah Iamunanku.leritnya

Meredakan hujan. Mengusir dan menghalau bakal

Badai topan. Dan mencipta kembali Bandung

Sebagai danau mutiara yang menyala. Orang pun

Berenang dan menyelam lagi di sana, berebut

Mimpi. Sedang aku menjelma badak yang berkubang

Sepi, menyusuri sungai dan hutan; nyeri sendiri



Oleh :

Beni R Budiman

Wednesday, March 25, 2015

Karnaval

Dengan pakaian berwarna kita bergaya.

Beriring Dalam barisan bebek. Kita kembali sebagai anak

Pada karnaval hari-hari besar. Wajah bercahaya

Mulut penuh gula-gula. Hari-hari tinggal canda


Siapa punya air mata ? Di sini tak ada kata bernama

Duka. Mimpi dan imaji mengalahkan luka

Derita ibarat bahasa karangan bunga. Kepedihan

Hanya milik pejuang di medan perang. Kesedihan

Melayang. Dunia dihiasi lampu dan umbul-umbul


Pesta terus dirayakan. Karnaval masih berjalan

Parade bergerak lamban. Penyair memilih diam:

Siapa punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?



Oleh :

Beni R Budiman

Tuesday, March 24, 2015

Epilog Kamar

Kamar ini menggenapkan kita sebagai petapa

Yang merana. Hiruk-pikuk menggoda dari luar

Jendela. Menciptakan gema yang melingkar di

Kamar. Dan melipat diri sebagai lagu sunyi


Siapakah kita di luar kamar ini? Sejumput rambut

Di atas daging dan sepi merambat seperti batang

Markisa di sepanjang lorong hati. Lalu kita lunta

Dalam kelana tanpa peta. Dan mulut kehabisan kata


Di dalam dan di luar kamar, akhirnya kita tetap

Petapa yang kekal memuja dusta. Dan doa ini satu

Minta: "Tuhan beri kami waktu untuk terus dosa!"



Oleh :

Beni R Budiman

Monday, March 23, 2015

Thespian

in memoriam li Hayati


Tepuk tangan penonton itu seperti iring-iringan

Doa. Dan lambaiannya menjelma untaian kata yang

Diucapkan pejuang sebelum pergi ke medan perang

Bangku kosong yang berbaris seperti menulis sajak


Liris. Tiba-tiba kau menangis selepas mengirim

Ciuman dan lakon yang tragis. Di luar gerimis

Tipis ibarat isyarat malaikat. Dan angin malam

Membawa keinginan hitammu yang lama terpendam


Kematian. Kematian bukan akhir cerita, katamu

Tapi awal dari lakon drama baru. Harapan abadi

Yang ragu. Panggung yang menunggu dan ditunggu

Kematian, cinta niscaya yang meminta dan memaksa



Oleh :

Beni R Budiman

Saturday, March 21, 2015

Fantasi Siang


Duduk di beranda tengah han langit memangku

Tungku api. Matahari seperti sedang membakar

Poci dan cangkir tembikar. Menjerang laut dan

Danau kopi. Fantasi kita pun menulis cerita api


Dan burung-burung segera kembara sebelum

Menjelma abu dan bara rokok. Sekawanan ikan

Menjauh dari pantai sebelum menjadi buih

Daun-daun kuning seketika. Gugur sebelum

Rontok tiba. Angkasa mengobarkan satu nyala


Seorang anak menangis sampai suaranya habis

Berdoa agar cuaca segera berubah warna

Tapi angin dan hujan tak memberi jawaban

Selain buah kelapa yang jatuh di kepala. Pecah



Oleh :

Beni R Budiman

Friday, March 20, 2015

Melankolia


Seperti barisan mahoni di tepi jalan

Tubuhku tegak sepanjang ceruk subuh

Dan bayang hitamku terkapar di aspal

Menekuri arah kendaraan dan merkuri


Azan berkumandang mengajakku pulang

Tapi gema membuat banyak makna suara

Menggambar persimpangan bagi langkah

Dan cuaca menawarkan mimpi indah juga


Derita. Aku bimbang di antara bintang

Sisa. Dan sebuah tabrakan keras sulit

Terhindarkan. Aku berantakan dan luka

Hati belah dua dalam langit melankolia



Oleh :

Beni R Budiman

Thursday, March 19, 2015

Kasmaran

bersama Diwana Fikri Aghniya


Tiba-tiba saja kita seperti orang yang sedang

Belajar menjadi anak dan ayah. Di mesjid itu

Keharuan seperti sungai gunung mencari lembah

Dan kita hanyutkan harapan sampai ke ujung sepi

Muara bagi setiap doa dan ikan membuat janji


Kita pun menjelma puisi yang hidup di antara dua

Keabadian surga dan neraka. Kita berkhayal sebagai

Keluarga Lukman yang kekal sepanjang zaman. Tenang

Bersama wajah-wajah malaikat yang putih. Dan Tuhan


Kita terus kasmaran sepanjang kumandang azan. Dan

Lupa pada bumi yang selalu menyanyikan lagu pilu

Juga pada rumah yang penuh desah dan tumpukan

sampah


Kita terus berpelukan dalam irama Tuhan. Berlayar

Di antara pulau-pulau yang kemilau, mencari Lukman ...



Oleh :

Beni R Budiman

Wednesday, March 18, 2015

Camping

Di bawah gunung kesepian bergulung dan memuncak

Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan

Tebing batu cadas dan pinus-pinus yang mendengus

Angin mengirim cuaca sembab. Hujan, tertahan awan


Dan dalam suasana temaram pohon karet berbaris

Sujud dalam sakit yang sama. Memberat ke arah

Barat. Burung-burung pun datang dan pergi dalam

Irama yang pasti. Udara seakan sendu membatu


Dan hidup seperti kumpulan tenda yang dibangun

Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang

Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yang rindu

Dilantunkan petualang di antara lereng dan jurang



Oleh :

Beni R Budiman

Saturday, March 14, 2015

Asrul Sani

Lahir 10 Juni 1926 di Rao, Sumatera Barat. Tamat Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 1955. Ia pun pernah belajar dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California, Amerika Serikat, 1955-1957. Salah seorang pendiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta. Pernah menjadi anggota dan salah seorang ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dia termasuk 10 anggota seumur hidup Akademi Jakarta.

Sejak 1966 menjadi anggota DPR/MPR sebagai wakil NU lalu Partai Persatuan pembangunan, dia pun pernah lama duduk di Badan Sensor Film dan berulang kali menjadi juri festifal film di pelbagai negara. Di bidang pers, kariernya pun panjang. Pernah di Suara Bogor, Gema Suasana, Zenith, ”Gelanggang” pada Siasat, memimpin majalah Abad Muslimin, dan kolumnis Harian Kami.Asrul Sani adalah penyair, eseis, cerpenis, penerjemah, pengarang lakon, pengarang skenario film, sutradara lakon, dan sutradara film.

Sejumlah karyanya sudah disalin ke dalam pelbagai bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, dan Jepang.

Bukunya yang sudah terbit: Tiga Menguak Takdir, antologi puisi bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin (1950); Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat, kumpulan cerita pendek (1972); Mantera, kumpulan puisi (1975). Sebuah eseinya ada dalam Sejumlah Masalah Sastra susunan Satyagraha Hoerip (1982).

Sekitar 20 skenerio film dia tulis dan10 judul film dia sutradarai, antara lain: Lewat Jam Malam, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Tauhid, Salah Asuhan, Pagar Kawat Berduri, Jembatan Merah, Bulan di Atas Kuburan, dan Apa yang Kau Cari, Palupi memenangkan Hadiah I Festival Film Asia 1970 di Jakarta.

Asrul Sani dikenal sebagai salah seorang tokoh Angkatan ’45 dalam sastra Indonesia.

Karya

Sastra

 
·         Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950)
·         Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
·         Mantera (kumpulan sajak, 1975)
·         Mahkamah (drama, 1988)
·         Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988)
·         Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997)

Film


·         Titian Serambut Dibelah Tudjuh, 1959
·         Pagar Kawat Berduri (1963)
·         Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1970)
·         Salah Asuhan (1974)
·         Bulan di Atas Kuburan (1976)
·         Kemelut Hidup (1978)
·         Di Bawah Lindungan Ka'bah (1981)

Sumber



Thursday, March 12, 2015

Tentang Asmara Hadi


Asmara Hadi adalah nama pena. Nama aslinya Abdul Hadi. Selain Asmara Hadi, juga ada Ipih atau H.R. singkatan dari Hadi dan Ratna, Hadi adalah namanya sendiri, sedang Ratna adalah nama seseorang yang kelak menjadi isterinya. Asmara Hadi lahir di Bengkulu pada tanggal 8 September 1914. Meninggal pada 3 September 1976 di Bandung. Tahun 1929, melanjutkan sekolah di Jakarta, di sana tinggal bersama mahasiswa2 yang turut aktif dalam pergerakan kebangsaan. Kemudian pindah ke Bandung, sekolah menengah di MULO, Taman Siswa. Ia kemudian masuk partai politik dan menjadi seorang kader yang digembleng Bung Karno. Tatkala Bung Karno tahun 1932 menerbitkan Fikiran Rakjat, Asmara Hadi adalah seorang pembantunya. Kata penyunting: Dari tangannjalah sadjak-sadjak jang dimuat madjalah tersebut. Konsekuensi dari tokoh pergerakan adalah pembuangan dan penjara. Tahun 1934 - 1935, Asmara Hadi ikut dibuang ke Ende bersama Bung Karno. Tahun 1937 kembali merasai hotel prodeo, demikian juga tahun 1938 dan tahun 1939, bersama Amir Sjarifuddin. Tatkala pecah perang Pasifik tahun 1941, kembali ia ditangkap dan menjadi tawanan. Bersama pemimpin-pemimpin pergerakan lain, ia berpindah-pindah penjara mulai dari Sukabumi, Garut, Jakarta, dan kembali ke Sukabumi lagi. Inilah yang kemudian melahirkan bukuDibelakang Kawat Berduri. Penyunting buku menulis begini: “Dibelakang Kawat Berduri terbitan Pemandangan, Djakarta 2602 (1942). Buku ini merupakan buku tjatatan selama pengarangnja ditawan pemerintah Belanda, ketika Perang Pasifik petjah. Peristiwanya dimulai tanggal 8 Desember 1941, jaitu saat petjahnja Perang Pasifik hingga tanggal 15 Maret tatkala pengarang dapat bebas dari Nusakambangan. Dalam buku tersebut digambarkan antara lain bagaimana pengarang dibawa P.I.D pengeledahan di rumahnja, keadaan didalam tahanan, pertanjaan2 yang dimadjukan kepadanja serta peristiwa2 jang lain selama ditawan itu. Kisah2 didalamnja diselingi pula dengan puisi.”    

Asmara Hadi pernah menjadi pemimpin majalah Pelopor Gerindo (1937-1938), pemimpin redaksi majalah Tudjuan Rakjat (1938-1941), dan pembantu tetap majalah Pudjangga Baru.

Sumber

Wednesday, March 11, 2015

Sekarangan Kembang


(Buat Ratna)


Mengarang aku, adikku aju

Bunga dari taman djiwa

Kembang dewata kekal-tak-laju

Gemilang djuita berwangi tjinta


Buat engkau kembang kukarang

Akan hiasan kepalamu

Tanda tjinta, dindaku sajang

Njala kekal dalam djiwaku


Ingin aku sebagai pengarang

Meninggalkan sjair gilang gemilang

Supaya tjinta jang njala sekarang

Sepandjang masa tiada ‘kan hilang


Supaja namamu, adikku aju

Gemilang kekal dalam dunia

Dipudja segala pembatja sadjakku

Ratna Asmara: tjinta mulia


Dari miljunan dara didunia

Kumuliakan engkau sebagai dewiku

Kupudja dengan njanjian mulia:

Kembang dan setanggi dupa hatiku


O, dewi, jang menjinarkan tjahaja

Terangilah selalu djalan djiwaku

Supaja sampai dibahagia raja

Dalam pelukan swarga tjintamu


Ja, jakin aku, nanti tanganmu

Akan meletakkan tanda tjintamu

Karangan bunga atas kepalaku

Karena aku setia selalu


Tiada takut tempo tjobaan

Berdiri dahsjat antara kita

Jakin kuat dalam perdjuangan

Untuk engkau, Ratna djuita


Akan gemilang tenang matamu

Menjinarkan tjaja kasih abadi

Akan berkumpul hasrat djiwaku

Dalam bisikan ,,Kandaku Hadi”


Menggeram segara jang luas-dalam

Ketawa suara maut dan baja

Mantjar halintar membelah malam

Gempita badai memburu segara


Dalam kedahsjatan malam gempita

Jang membuat tjabar djiwaku

Terbajang gemilang pagi djelita

Ketika segala bersinarkan tjintamu


Ingat aku akan pintamu

Semoga djiwaku selalu mulia

Dilindungi restu do’a tjintamu

Sebagai sjatrya melalui dunia


Perasaan sangsi segeralah hilang

Digantikan perasaan jakin gembira

Dilangit gelita gemilanglah bintang

Pemimpin djalanku diatas segara


Jakin djiwaku kapal ‘kan sampai

Dalam pelabuhan kota kentjana

Tempat hidup gemilang permai

Manusia bagia sebagai dewa


Kita hidup dimasa jang indah

Zaman bangsa sadar kembali

Miljunan tangan kerdja gelisah

Bangunkan swarga diatas bumi


Dengarlah dinda, dendang jang suka

Mendengung atas Indonesia

Masuk dalam hati jang duka

Membuat mata bersinar mulia


Ratnaku, dinda, bahagia kita

Dapat hidup dimasa kini

Menanam bibit tjinta dan tjita

Jang akan berbuah dimasa nanti


Dalam matamu, dinda djuita

Kulihat sinar dunia baru:

Indonesia negeri kita

Bahagia diatas segara biru


Kulihat kanak bermain girang

Ditengah bunga jang sedang kembang

Ditengah padi: emas gemilang

Kerdja petani sambil berdendang


Dalam fabrik jang gegap gempita

Kudengar njanjian usaha raja

Ribuan mata mengintan tjuatja

Ribuan tangan kerdja suka


Kaum melarat tiada lagi

Tiap manusia berhak sama

Dari lahir sampaikan mati

Hidup bebas laksana dewa


Kalau aku melihat tawamu

Gemilangkan sinar tjinta mulia

Terbajang-bajang depan mataku

Bagia raja benderang didunia


Terdengar-dengar laguan melajang

Beritakan dunia makmur-damai

Umat manusia berkasih-sajang

Dalam persatuan tulus-permai


Ja, kekasih, jakin djiwaku

Tjinta sosial pasti ‘kan menang

Kalau aku melihat tawamu

Gemilang tenang nandakan senang


O, kekasih, njalakan djiwaku

Selalu dengan api tjintamu

Supaja dapat kuat dan girang

Serta berdjuang dizaman sekarang!


Membangunkan keindahan baru

Dinegeri kita, Indonesia

Jang bagai zamrud disegara biru

Restui daku, kekasih mulia!



Oleh :

Asmara Hadi