Monday, November 30, 2015

Dangdut

Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.

Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata

memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.

 

Para pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu

kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.

Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan

menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.

Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang: “Aku tidak mabuk.”

Mungkin aku harus lebih sabar menemanimu.

 

 

Oleh :

Joko Pinurbo

Sunday, November 29, 2015

Obituari Bambang




Bambang adalah teman yang periang dan cerdas.
Ia pandai menghibur kita hanya dengan kesederhanaan wajahnya.
Ia cepat memahami isi hati dan pikiran kita
tanpa harus bertanya dan berkata-kata.
Ia selalu tertawa dalam suka maupun duka.
Bila kita menghardik, bahkan mencaci-makinya, ia hanya meringis
dan tersipu sehingga kita malah terharu olehnya.
Kita sering sedih dan menyesal melihat wajah cepat tua,
sementara ia tetap saja awet muda.

Bambang memang teman yang luar biasa.
Sejak kepergiannya, rumah seperti kehilangan jiwa.
Tak ada lagi yang menemani kesendirian dan ketakutan kita
saat kita bersolek di depan kaca.
Tak ada lagi yang menggantikan wajah kita bila kita bosan
melihat wajah yang maya.

Bambang, topeng kita yang pendiam itu, mungkin sudah dibuang
atau disembunyikan oleh entah siapa di antara kita
yang tidak sanggup lagi bersaing dengan keluguannya.


Oleh :
Joko Pinurbo

Tuesday, November 24, 2015

Pesan Uang




Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam
terhadap kemiskinan.”

Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya.
Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama.
Hore, aku telah mengalahkan kemiskinan.
Aku tak butuh lagi masa depan.

Kemudian aku jatuh miskin.
Hartaku amblas, harga diriku kandas.
Kekayaanku tinggal hutang-hutangku.

Ketika aku akan merantau lagi buat cari kekayaan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan kauhabis-habiskan
kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan,
bagaimana bisa mati dengan kaya?”


Oleh :
Joko Pinurbo

Monday, November 23, 2015

Sepasang Tamu




Di ruang tamu ini, sekian tahun silam, saya menerima
seorang pemuda kurus kering yang datang menawarkan akik.
Saya tidak suka akik. Lebih tidak suka lagi pada bualannya
tentang kesaktian akik. Seberapa pun hebatnya,
akik hanya akan melemahkan iman.
Tanpa basa-basi saya minta anak muda yang tampak
kelaparan itu segera angkat kaki.
Ia pun pamit dengan penuh ketakutan
dan sambil pergi matanya tetap memandang sayu kepada saya.

Tentu bukan karena akik kalau rumah itu terpaksa saya jual
kepada seseorang dan orang itu kemudian menjualnya
kepada seseorang yang lain, demikian seterusnya.
Rumah itu memang angker,
tidak pernah bikin tenteram penghuninya.

Kini sayalah yang duduk terlunta-lunta di ruang tamu ini.
Wah, mewah benar bekas ruang tamu kesayanganku.
Ada pendingin udaranya, ada cermin besarnya,
ada pula lukisan tidak jelas yang pasti sangat mahal harganya.
Cukup lama saya menunggu, tapi si empunya rumah
tidak juga keluar menemui saya. Saya bermaksud
menawarkan obat kuat yang dibuat khusus untuk orang kaya.

Dengan jengkel saya mengintip ke ruang tengah.
Wah, si empunya rumah sedang sibuk bergoyang-goyang
mengikuti irama musik yang ia bunyikan keras-keras.
Setelah saya panggil berulang-ulang dengan suara lantang,
barulah ia sudi menemui saya.

Tidak salah lagi, dia adalah si bekas pedagang akik yang dulu
menghiba-hiba di hadapan saya.
Sayang ia pura-pura tidak pernah kenal saya.

“Masih jualan akik, Pak?” saya coba memancing reaksinya.
Ia menjawab ketus: “Jangan bicara akik dengan saya.
Akik hanya akan melemahkan iman.”
Setelah menimang-nimang seluruh jenis obat
yang saya bawa, dengan sinis ia berkata:
“Maaf, tidak ada yang cocok dengan kapasitas saya.”
Kemudian ia memerintahkan saya segera angkat kaki
dan sebelum saya sempat pamitan ia sudah buru-buru masuk
ke ruang tengah untuk melanjutkan kesibukannya.

Suatu hari saya mendengar kabar bahwa si bekas penjual akik
yang mulai sombong itu sedang terkapar di rumah sakit,
terkena penyakit berat yang entah apa namanya.
Saya menyempatkan diri menjenguknya.
Duh, kasihan juga melihat ia terbaring lemah dengan mata
kadang terpejam kadang terbuka.

Ketika di kamar sakitnya hanya tinggal kami berdua,
saya bisikkan di telinganya: “Rasain lu!”
Serta-merta matanya membelalak dan dengan gagah
ia menimpal: “Prek lu!”
Cukup lama kami beradu pandang, dan kami sama-sama
berusaha tidak tertawa atau malah mengeluarkan air mata.


Oleh :
Joko Pinurbo

Sunday, November 22, 2015

Rumah Kontrakan


 

 

 

untuk ulang tahun SDD 

 

Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu

aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku.

Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa

membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,

syukur dilengkapi taman dan kolam renang.

 

Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah.

“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara

aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini.”

“Maaf Bu,” aku menjawab malu, “uang saya baru saja habis

buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti

sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri.”

 

Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi.

Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan.

“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara

aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini.”

 

Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak.

Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak.

Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya

sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana.

Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga.

 

“Orgil, aku tak akan pernah

merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini.”

 

 

Oleh :

Joko Pinurbo

Saturday, November 21, 2015

Mudik




Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah.
Seperti pesan ayah: “Nenek rindu kamu, pulanglah!”

Waktu kadang begitu simpel dan sederhana:

Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana.
Siapa di kamar mandi?
Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi.

Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang doa,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
“Hei, bajingan kita pulang!” seru boneka singa
yang tetap tampak perkasa, dan menggigil saja ia
saat kubelai-belai rambutnya.

Ayah belum juga datang, sementara taksi
yang menjemputku sudah menunggu di depan pintu.
Selamat jalan nek, selamat tinggal semuanya.
Baik-baik saja di rumah. Salam untuk bapak tercinta.

Di jalan menuju stasiun kulihat ayahanda
sedang celingak-celinguk di dalam becak, wajahnya
tampak lebih tua; becak melaju dengan sangat tergesa.
Dari jendela taksi aku melambai ke ayah,
sekali kukecup telapak tanganku, kulambaikan;
ia pun mengecup tangannya lalu melambai ke aku
sambil berpesan hati-hati di jalan ya.

Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
“Almarhumah nenekmu kemarin masih sempat
menumpang taksi ini,” ujar pak sopir yang pendiam itu,
yang ternyata bekas guruku.


Oleh :
Joko Pinurbo

Friday, November 20, 2015

Pengamen




Sepuluh orang pengamen menyerbu bus yang sedang lapar
karena hanya diisi seorang penumpang.
Ia orang bingung, duduk gelisah di pojok belakang
membaca peta yang sudah kumal dan penuh coretan.

Para pengamen yang tampak necis dan gagah bergiliran
memetik gitar dan menyanyi lantang kemudian
memungut uang dari penumpang lalu duduk berurutan.
Setelah semua mendapat bagian, gantian si penumpang berdiri
di depan lantas bernyanyi dan bergoyang.

Bahkan para pengamen berwajah seram terheran-heran
lantas bertepuk tangan karena penumpang itu
ternyata dapat menyanyi lebih merdu dan menghanyutkan.
Selesai melantunkan beberapa tembang, ia memungut uang
dari para pengamen lalu berteriak stop kepada sopir kemudian
melompat turun sambil melepaskan pekik kemenangan:
“Hidup rakyat! Hidup penumpang!”


Oleh :
Joko Pinurbo

Thursday, November 19, 2015

Penagih Utang




Penagih utang itu datang tengah malam.
Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan,
baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoran
untuk tubuhnya yang kurus dan kusam.

“Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak.
Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnya
yang longgar seakan bergeser dari letaknya.
“Maaf, kalau tidak salah ini sudah jadwalnya.”
“Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedang
banyak keperluan. Bapak lihat sendiri brankas saya
sedang ludas, kolam renang belum selesai saya perbaiki,
toilet baru akan saya lapisi emas, isteri belum sempat
saya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!”

Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi.
Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisik
di telingaku: “Tidak bikin keranda emas sekalian Pak?”
“Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat.

Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggal
aku selalu melihat penagih utang itu menyelinap
di tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum,
namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya.
Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan,
dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana.

Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnya
mati mendadak persis saat sedang mencoba keranda emas
yang baru saja selesai dibuat oleh ahlinya.
Mewakili para pelayat, bapak tua berbaju batik itu tampil
menyampaikan kata-kata belasungkawa.
Dalam sambutan singkatnya antara lain ia mengatakan
bahwa kematian tragis almarhum tetap tidak dapat
menebus utang-utangnya. Namun ia mengajak hadirin
untuk mendoakan arwahnya, memaafkan segala salahnya,
syukur-syukur bersedia ikut menanggung utang-utangnya.


Oleh :
Joko Pinurbo