Friday, October 30, 2015

Penyair Tardji

Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
“Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya.”

Dalam mabuk ia minta tuak dari jantungMu.
“Mana kapak? Biar kutetak leher panjangMu.”

Sampai huruf habislah sudah.
Sampai nganga luka dibelah.
“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah.”


Oleh :
Joko Pinurbo

Thursday, October 29, 2015

Layang-Layang




Dulu pernah kaubelikan aku sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.

Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali kutemu.
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.

Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.


Oleh :
Joko Pinurbo

Tuesday, October 27, 2015

Kisah Semalam




Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’”

Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.”

Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.

Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.”

“Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”

Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan
dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan.

“Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.”

Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan,
menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia berikan.


Oleh :
Joko Pinurbo

Monday, October 26, 2015

Gadis Malam Di Tembok Kota




- untuk Ahmad Syubannuddin Alwy 

Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang,
seperti ingin memamerkan kecantikan:
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.

Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.

“Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot
bergoyang-goyang, yang jalannya sedikit goyah
tapi gagah juga. Selamat malam, Alwy.”

“Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi.
Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
yang penuh pekik dan basa-basi.”

Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar
mencecar bunga-bunga layu yang bersolek di bawah
cahaya merkuri. Dan bila situasi politik memungkinkan,
tentu akan semakin banyak yang gencar bercinta
tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan.

“Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.”
“Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
Aku tak pandai meradang, menerjang.”

Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
leher hangat, dan bibir lezat yang terancam kelu.
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri kepada sembilu.
“Aku sayang Mas Alwy yang matanya beringas
tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya.
Yang jidatnya licin dan luas, tempat segala kelakar
dan kesakitan begadang semalaman.

Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, aku tak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”

“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”


Oleh :
Joko Pinurbo