Friday, July 31, 2015
Thursday, July 30, 2015
Sajak Sehabis Mimpi
Tak seorang akan tahu
kur siapa yang nyanyi
pada sebuah magrib
dalam mimpiku
Tak seorang akan tahu
Tujuh orang hitam ikut menangis
untuk seorang gubernur
yang menghilang dengan sebuah tangga listrik
yang berjalan dalam mimpiku
Tak seorang akan tahu
Aku pun ikut sedih. Hari sudah gelap,
tanah airku. Dan serombongan pemain debus
meramal buruk
tentang perang saudara dalam mimpiku
Tak seorang akan tahu
Oleh :
Goenawan Mohammad
Wednesday, July 29, 2015
Persetubuhan Kunthi
— untuk tarian Sulistyo Tirtokusumo
Semakin ke tangah tubuhmu
yang telanjang
dan berenang
pada celah teratai merah
Ketika desau angin berpusar
ikan pun
ikut menggeletar
Dari pinggir yang rapat
membaur ganggang.
Antara lumut lebat
dan tubir batu
ada lempang kayu apu
yang timbul tenggelam
meraih
arus dan buih
Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu
dan kau teriakkan
jerit yang merdu itu
sesaat sebelum kulit langit biru
kembali, jadi biru
Engkau dewa? kau bertanya
Engkau matahari?
Laki-laki itu diam sebelum menghilang
ke sebuah asal
yang tak pernah diacuhkan:
sebuah khayal
di ujung hutan
di ornamen embun
yang setengah tersembunyi.
Yang tak pernah kau miliki, Kunthi
tak akan kau miliki.
Oleh :
Goenawan Mohammad
Privacy Policy
Privacy Policy for Kumpulan Puisi Dwiki
If you require any more information or have any questions about our privacy policy, please feel free to contact us by email at Contact Page.
At kumpulanpuisidwiki.blogspot.com, the privacy of our visitors is of extreme importance to us. This privacy policy document outlines the types of personal information is received and collected by kumpulanpuisidwiki.blogspot.com and how it is used.
Log Files
Like many other Web sites, kumpulanpuisidwiki.blogspot.com makes use of log files. The information inside the log files includes internet protocol ( IP ) addresses, type of browser, Internet Service Provider ( ISP ), date/time stamp, referring/exit pages, and number of clicks to analyze trends, administer the site, track users movement around the site, and gather demographic information. IP addresses, and other such information are not linked to any information that is personally identifiable.
Cookies and Web Beacons
kumpulanpuisidwiki.blogspot.com does use cookies to store information about visitors preferences, record user-specific information on which pages the user access or visit, customize Web page content based on visitors browser type or other information that the visitor sends via their browser.
Third Party Privacy Policies
You should consult the respective privacy policies of these third-party ad servers for more detailed information on their practices as well as for instructions about how to opt-out of certain practices. kumpulanpuisidwiki.blogspot.com's privacy policy does not apply to, and we cannot control the activities of, such other advertisers or web sites.
If you wish to disable cookies, you may do so through your individual browser options. More detailed information about cookie management with specific web browsers can be found at the browsers' respective websites.
If you require any more information or have any questions about our privacy policy, please feel free to contact us by email at Contact Page.
At kumpulanpuisidwiki.blogspot.com, the privacy of our visitors is of extreme importance to us. This privacy policy document outlines the types of personal information is received and collected by kumpulanpuisidwiki.blogspot.com and how it is used.
Log Files
Like many other Web sites, kumpulanpuisidwiki.blogspot.com makes use of log files. The information inside the log files includes internet protocol ( IP ) addresses, type of browser, Internet Service Provider ( ISP ), date/time stamp, referring/exit pages, and number of clicks to analyze trends, administer the site, track users movement around the site, and gather demographic information. IP addresses, and other such information are not linked to any information that is personally identifiable.
Cookies and Web Beacons
kumpulanpuisidwiki.blogspot.com does use cookies to store information about visitors preferences, record user-specific information on which pages the user access or visit, customize Web page content based on visitors browser type or other information that the visitor sends via their browser.
Third Party Privacy Policies
You should consult the respective privacy policies of these third-party ad servers for more detailed information on their practices as well as for instructions about how to opt-out of certain practices. kumpulanpuisidwiki.blogspot.com's privacy policy does not apply to, and we cannot control the activities of, such other advertisers or web sites.
If you wish to disable cookies, you may do so through your individual browser options. More detailed information about cookie management with specific web browsers can be found at the browsers' respective websites.
Tuesday, July 28, 2015
Cerita Untuk Mita
Di tromol itu kulihat permen dan bintang-bintang
dan gambar seorang perempuan pirang.
Ia memperkenalkan: “Aku dari sebuah masa kecil.
Kau kukenal dalam kenangan.”
Sebenarnya aku tak banyak punya kenangan
tapi malu untuk ditertawakan.
“Oh, ya, siapa ya nyonya, kapan datang dari Belanda?”
Ia tertawa: “Salah, aku merk manisan Amerika.”
Catatan :
Mita adalah nama kecil dari putri Goenawan Mohammad.
Oleh :
Goenawan Mohammad
Monday, July 27, 2015
Seperti Dalam Film Lama
Seperti dalam film lama
kotapun terbelah besi
trem terendam
dalam kabut
hanya ada sisa hingar
sebentar
di ingatan
paling awal
dan suara serakmu, dulu,
pada sebuah jembatan,
pada sebuah sungai tua, ketika
sebuah proyektil
terlontar jauh:
mimpi
selurus mimpi.
waktu itu
lampu iklan biru,
seperti kematian
tak menyentuh
tubuhku.
Kini seperti dalam film lama
toko-toko menghilang
gang & taman tenggelam,
hujan
tak terdengar
dan kau berangkat
dari sisi ini…
Terlalu cepat, kataku
Tidak, katamu. Telah kulihat
kilat lenyap
di gelas hitam
itu
Oleh :
Goenawan Mohammad
Sunday, July 26, 2015
Tentang Sinterklas
Di dekat rumah yatim-piatu
Sinterklas terbunuh oleh peluru
“Piet Hitam telah menembakku!”
Dan anak-anak termangu
Di dekat persimpangan lima
Polisi menahan seorang mahasiswa Afrika
Ia memang bersenjata, dan konon berkata:
“Aku telah merdeka!”
Oleh :
Goenawan Mohammad
Saturday, July 25, 2015
K.T.P
— sebuah esai*
Saya tinggal di sebuah kota yang dihuni 10.ooo.ooo manusia tapi pada suatu hari ada kemungkinan tak seorang pun yang akan datang menggali kubur. Sehari sebelumnya para pembesar kotapraja mengumumkan, agar penduduk kota maklum, agar penduduk tenang, bahwa di setiap tempat pemkaman publik yang 18 jumlahnya itu para petugas sudah menggali 40 buah kubur sekaligus.
Mengapa 40, ada yang bertanya. Mengapa 40 karena seperti terjadi di tahun sebelumnya, dan di tahun sebelumnya lagi, itulah jumlah orang yang mati sakit atau kecelakaan, rata-rata antara 35 sampai 40 pada hari seperti itu, dan mayat-mayat itu, saudara tahu, harus segera dikebumikan, sementara pada hari seperti itu akan tak ada pekerja yang datang untuk mempersiapkan liang lahat. Pada hari itu jutaan orang, termasuk para petugas jawatan pemakaman, akan pergi meninggalkan kota untuk sepekan lamanya. Pada hari itu hampir secara serempak mereka akan menaiki deretan kereta api yang persegi panjang, ratusan bis besar yang berjejal, atau mengarungi laut dengan 12 kapal hitam yang sarat. Pada hari itu mereka akan pergi, dalam kelompok-kelompok kecil atau sendiri-sendiri, mengunjungi distrik-distrik di pedalaman, desa-desa yang dulu terpencil, seakan-akan mengikuti sejenis ziarah massal, atau mungkin juga bukan ziarah sama sekali, tetapi sebuah ritual yang tak sepenuhnya mereka sadari sebagai ritual, jalan kebaktian dan jalan kesengsaraan dan kesukacitaan yang mereka tempuh saban tahun, pelan, berbahaya, berkeringat, beratus-ratus kilometer.
Saya tinggal di sebuah kota yang untuk sepekan lamanya ditinggalkan orang, beratus-ratus kilometer, pada sebuah hari tertentu, di tahun yang kapan saja, sehingga kota ini mendadak lengang, seperti sebuah negeri yang dikalahkan garuda. Pada hari itu tak seorang pun yang bahkan ke telinga anak-anaknya sendiri menyebut, dengan hangat, “ini, ini… kota kita.” Antara “kota” dan “kita” menganga sebuah jarak yang aneh. Sebuah kekosongan. Jika tuan renungkan kekosongan itu, uan seakan-akan mendapatkan sebuah bejana gelas, dan di dalamnya Jakarta, kota itu, akan ampak seperti sebuah bandar, seperti sebuah bandar untuk transit, dengan orang-orang yang antri di sebuah lorong besar menjelang sebuah gerbang perjalanan laut yang tak berkesudahan. Tanpa aracis. Di teluk, ada sebuah bahtera. Ada dek berlapis-lapis. Ada kamar kapal dengan jendela-jendela bulat dengan lampu yang seperti zuhrah, didampingi deretan pelampung jingga yang lentuk seperti donat, ribuan sekoci yang ramping seperti ikan terbang, dan orang ramai berbaju rapi yang memandang cerobong asap yang tak pernah berhenti membuat sinyal.
Di negeri-negeri maritim, kata orang yang menulis tarikh, sebuah kota selamanya sebuah bandar. Tapi harus saya katakan bahwa saya tak tahu ke arah mana saja perjalanan laut dari sini. Yang saya tahu hanya berjuta-juta orang datang dari jauh, dari sebuah wilayah yang dibayangkan bersama-sama sebagai “udik”, dan mereka semua menanti.
Seorang tua yang hidup di sebuah sudut kota yang di abad ke-16 ditempati orang Portugis mengatakan bahwa semua orang pada dasarnya menantikan jemputan Dampo Awang. Siapa Dampo Awang, tuan akan bertanya, dan hanya sedikit yang akan bisa memberi jawab, antara lain seperti ini: Adapun Dampo Awang adalah seorang laksamana yang membawa sebuah armada besar, konon dari Tiongkok, konon dari Mongol, ada lagi yang mengatakan ia orang Gujarat, ada yang mengatakan ia datang dari Genoa, tapi yang pasti ia bukan seorang petualang rempah-rempah. Ia kemegahan yang datang dan singgah dan pergi lagi. Ialah yang mengalahkan Amangkurat Pertama, raja Mataram yang ganas itu, yang ingin merebut kota ini dan menyeretnya ke pedalaman abad ke-17, tapi juga ia sekaligus mengalahkan Jan Piereszoon Coen, orang Belanda yang mengetuai Serikat Dagang Hindia Timur, yang menduduki wilayah penuh disentri ini dan membangunnya dari rawa dengan sebuah meriam yang bisa memuntahkan 300 gobang emas. Bagaimana Dampo Awang mengalahkan orang ini, saya bertanya. Ia merebut meriam itu, itulah jawaban yang saya peroleh. Tapi kemudian Damo Awang berangkat lagi, dan hanya kadang-kadang bendera armadanya yang merah marun itu yang tampak sekilas di batas laut dan langit, seakan-akan mengisyaratkan sebuah kunjungan kembali, nanti.
Saya tinggal di sebuah kota yang seluruh sejarahnya adalah janji-janji yang jauh, sejarah yang tak pernah diringkas oleh sebuah geografi. Sebab itu saya tak selalu persis bisa menyusun Jakarta di dalam sebuah citra: kadang-kadang ia memang seperti sebuah pelabuhan penuh dengan biduk-biduk Bugis dan kapal-kapal pesiar asing, kadang-kadang ia seperti sebuah pesawat zeplin yang membawa sembilan pencakar langit di bawah lambungnya, melintasi sebuah gurun. Saya ingin membayangkan zeplin itu itu mengibarkan panji merah marun, dan di kokpitnya duduk Dampo Awang, yang membawa para penghuni melintasi batas wilayah yang paceklik dan kesulitan harap, dan dengan demikian memerdekakan, seraya terbang, mereka –seperti dalam kisah dari benua lain — yang mengungsi ke dalam kota, petani yang lari dari utang dan para pendekar yang menghindar dari penghambaan. Tapi kadang-kadang ia seperti kota Gotham dalam komik Batman, dengan gedung-gedung yang jangkung dan jahat, sebuah kota yang memalsukan sungainya sendiri, Ciliwung.
Dari atas sungai yang hilang itu, Tuhan diundang. Kaulah Maha Penyelia dan Maha Pembangun Batas. Kota ini tak pernah punya kali yang dalam, parit yang lebar dan gerbang yang melindungi kami. Kota ini seperti seonggok dusun khayal yang dibangun dari lahar yang hangat yang datang dari sebuah kepundan yang jauh, lahar yang tak henti-hentinya bergerak ke ceruk dan tanah rendah di mana saja, tanpa bentuk. Kota ini tak pernah punya peta. Berikanlah kami peta, tunjukkanlah kami rel hitam-putih, titik-titik memanjang yang merah, dan selat yang biru.
Itulah yang terjadi. Saya tinggal di sebuah kota di mana berjuta-juta orang berdoa, waswas, dengan hingar yang keras, kadang-kadang dengan pesta mercon, sering dengan tambur dari seng, dan setiap kali dengan teriakan yang panjang berbaris: Tuhan, kami ingin batas kami menjadi ketidak-terbatasan. Tak seorang pun yang tinggal sendiri akan selamanya tinggal sendiri, karena setiap tahun ada yang dikukuhkan dalam ritual yang seperti ziarah itu: sebuah kota yang pada suatu hari ditinggalkan jutaan penghuninya.
Saya tinggal di kota seperti itu, dan tahu, bahwa apabila pada suatu hari di setiap tahun jutaan orang mencari jalan ke arah udik, justru karena sebenarnya udik itu ada di rumah mereka, tak bersembunyi. Kota tak mengubah mereka. Atau, lebih tepat, mereka tak pernah mengubahnya. Di jalan yang berhiaskan cahaya dan iklan itu mereka memang menemukan sebuah kebebasan (yang tak didapatkan di ladang-ladang masa silam), tapi sebuah kebebasan yang hadir seperti bentuk geometris, ruang yang dengan cepat akan jadi sesak, berdebu, dan pengap oleh cemas, karena orang-orang baru akan terus datang, ke bandar imajiner ini, menanti saat berlayar. Meskipun mereka tak tahu ke mana. Seperti pengungsi. Dan seperti pengungsi, mereka pun menjadi berjuta-juta orang yang melupakan kota itu sebaga tempat di mana lupa senantiasa penting.
Saya tinggal di sebuah kota yang hampir sepenuhnya sebuah komposisi dari pelbagai lupa, karena ia sebenarnya tak punya sejarah, kecuali seperti yang sudah saya katakan di atas, hanya ingatan tentang Dampo Awang yang merebut sebuah meriam di abad ke-17. Juga janji-janji yang jauh. Di bagian kota yang tua ada pelbagai museum, gedung-gedung yang dibiarkan, tapi semua orang sudah menebak bahwa bangunan itu hendak membuat sebuah ingatan, dengan sebuah arsitektur satu-dua pintu. Dari waktu ke waktu para penghuni dipersilakan masuk, bahkan tanpa mengetuk, tapi mereka tidak bisa.
Ingatan hanya akan membentuk sebuah kontinuitas yang asing dan merisaukan, ketika hidup berpindah-pindah dalam berjuta-juta lempeng yang patah. Pada setiap senja para penjual tanaman di tepi jalan akan menghilang, untuk dengan tangkas digantikan, dalam remang-remang, oleh orang-orang banci. Dari bayangan bungur Jepun yang batangnya sudah tinggi, dari pakis yang meriah dan kembang soka yang masih cerah biarpun hari pukul 20.00, orang-orang itu berdiri, dan kita tak ingat lagi apa dan siapa yang ada di sana di hari siang. Ketika kota tinggal hanya aspal jalan dan sorot lampu, yang akan berbaris di trota itu adalah ratusan perempuan yang bukan perempuan, lelaki yang bukan lelaki, pesolek yang memanfaatkan gelap, orang-orang terpesona yang jijik, berah yang tak meyakinkan walau pun asli, glamor yang lapar, hasrat yang ketakutan. Siapa pun ingin beristirahat, tapi tak menghendaki tidur. Dan tak seorang pun berniat pulang. “Kami tak pernah pulang,” kata mereka. “Kami hanya pergi.”
Catetan :
Karena pengarang membubuhi teks ini dengan keterangan sebuah esai, teks ini sebenarnya
masuk dalam antologi (Sajak-sajak
Lengkap 1961-2001 [hal.
187-191]).
Friday, July 24, 2015
Februari
“Lewat, lewat,” seseorang berkata sopan
kepada Waktu. Tapi dingin
menyetopnya, kota
menutup pintu
Gedung-gedung masih mencoba
menyebutkan nama mereka
kepada gelap. Tapi sejak Jalan 108
tak ada lagi percakapan
Bulan sepucat margarin dan
tak bersuara.
Langit tak meleleh.
Rambu dan lampu
membentuk
deret huruf Mesir,
dan pada kilometer ke-enam
ada sinar terakhir,
mungkin terlontar
ke tengah selat:
cahaya yang sepelan
penari menirukan angsa
“Lewat, lewat,” seseorang berkata lagi
kepada Waktu.
Tapi laut menyedotnya dan
menit membiru.
Kekal pun singgah sebentar
dan kota
mendengarkan Ajal,
dari jauh,
seperti terompet pemburu…
English Version :
February
“Pass by, pass by,” someone says politely
to Time. But the cold
brings it to a halt, the city
shuts its doors.
Buildings still try to
declare their names
to the dark. But form Street 108 onwards
there is no more conversation
The moon ia as pale as margarine and
soundless.
The sky does not melt.
Traffic signs and lights
form
a hieroglyphic line,
and on Kilometer 6
there shines a final ray of light,
probably tossed
to the middle of strait:
a glow as slow as
a dancer mimicking a swan.
“Pas by, pass by,” someone says again
to Time.
But the ocean sucks it up and
minutes turn blue.
So rests eternity,
briefly, while the city
tunes in form a distance,
to the End’s footsteps,
like the horn of hunters….
Translator: Laskmi Pamuntjak
By :
Goenawan Mohammad
Wednesday, July 22, 2015
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil.
Ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: –Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah sapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
English Version :
The Window
Here
pine trees shed their leaves, and rolls of waves
are routinely cast off.
Here
the season sights on earth,
sand, cold, and night,
as peace summons as fitfully
the wind upon your shivering self.
And woods bloom
into distant spaces: Please come!
There rises a pair of hills, red and pointed
from bare fields
and parched land
where your heart reaches out. A solitary
windmill spins in the gleam of sunset, and
on the edge of the continent
a rainbow spreads.
Do not mortals return at this hour
when the soil resurges,
like a poem
mute in words like crystal,
enchanted, eternal?
Translator: Laskmi Pamuntjak
By : Goenawan Mohammad
Tuesday, July 21, 2015
Dongeng Sebelum Tidur
“Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens.”
Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang
telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali
kain ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri –dengan
pertolongan dewa-dewa entah dari mana– untuk tidak setia
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang
mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?"
English Version :
Bedtime Story
“The lizards, my love, are talking about us.
Nonsense, in other words.”
So said the king to his queen that night.
The passion of bed sated,
silence slipped between bones and sheets.
“Why not believe me? Your dreams shall convince you
as surely as the morning sun.”
The woman broke into tears when Anglingdarma drew up
the seets to cover again her naked breasts; his breath cold
while he kissed her hair.
At morning’s light she tjrew herself upon the burning pyre.
And His Majesty did discern a way to force him to
take flight –with the help of gods
no one knew from whence they came– a way to be untrue.
“Batik Madrim, Batik Madrim, why, then, O Vizier?
Why should one hold constancy more dear than
life and so on and so forth?”
By :
Goenawan Mohammad
Monday, July 20, 2015
Kwatrin Tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abad
English Version :
Quatrain About a Pot
On a nameless clay
I see your face once more
My eyes are not that dim, obviously
for seeing what is not there
What is the worth of this pot, anyway,
save part illusion?
something that will break one day
and for us to make eternal
Translator: Laksmi Pamuntjak
Oleh :
Goenawan Mohammad
Sunday, July 19, 2015
Kwatrin Musim Gugur
Di udara dingin proses pun mulai: malam membereskan daun
menyiapkan ranjang mati.
Hari akan melengkapkan tahun
sebelum akhirnya pergi.
Kini akan habis matahari
yang membujuk anak ke pantai
Tinggal renyai.
Warna berganti-ganti. Dan engkau tak mengerti
Pada kalender musim pun diam.
Pada kalender aku pun bosan.
Di bawah daun-daun merah, bersembunyi jejak-Mu singgah
Sunyi dan abadi. Musim panas begitu megah.
Kabar terakhir hanya salju
Suara dari jauh, dihembus waktu
Kita tak lagi berdoa. Kita bisa menerka
Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta
Oleh :
Goenawan Mohammad
Subscribe to:
Posts (Atom)