Monday, September 29, 2014

Di Seberang Selembar Daun


Aku bukan seluruh daun di pohon ini. Aku hanya

selembar daun di pohon ini. Hanya pohon ini dan

hanya selembar daun. Aku hanya selembar daun

yang tumbuh di leherku. Hanya berwarna hijau sep-

erti selembar daun. Aku hanya selembar daun yang

berbicara menggunakan mulutku. Maksudku,

mulutku adalah selembar daun yang berbicara

menggunakan mulutku. Maksudku, aku hanya

selembar daun yang selembar daun. Jangan rayu aku

untuk menjadi pohon walau kau berikan tuhan kepa-

daku. Jangan rayu aku untuk menjadi seluruh daun

pada pohon ini walau kau berikan janji kematian pa-

daku. Aku bukan soal kematian dan soal tuhan. Aku

mirip, maksudku mirip dengan pertanyaan aku hidup

bukan untuk seluruh yang kau katakan setelah

kematian. Setelah kematian aku bukan hidup dan ke-

matian bukan selembar daun yang mewakili seluruh

daun di pohon ini.


Aku hanya selembar warna hijau dari pohon yang

aku tak tahu namanya. Pohon yang membuat aku

tahu aku berada di sini dan hidup di sini. Maksudku,

jangan kau takuti aku seperti kanak-kanak yang

berlari di seberang kematian. Aku mengingatnya,

waktu-waktu, dan, lihatlah di luar sana, lihatlah

orang-orang berjalan dengan kakinya, pohon-pohon

tumbuh, anak-anak bermain merasakan kebahagiaan

memiliki tawa, langit yang dibuat dari rambut

perempuan. Aku adalah selembar daun yang dijahit

pada sebatang pohon.



Oleh :

Afrizal Malna

Sunday, September 28, 2014

Menggoda Tujuh Kupu-Kupu


Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata

tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat.

Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita

sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya

kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata tidur. Aku tidak

berjalan dengan mata melek dan tidak mengukur yang terlihat.

Kau latihan yoga dan menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau

terbang dan tidak bisa ikut masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke-

adaan seperti gas padat dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.

Aku tidak mendengar suara ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup

menjadi mudah, karena memang hidup sudah tidak ada. Menjadi

benar oleh kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh

kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar

terbangmu. Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan

sayapnya dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama

dengan rute sungai Marne yang membelah mimpi-mimpimu.



Oleh : 

Afrizal Malna

Saturday, September 27, 2014

Seminar Puisi Di Selat Sunda


Untuk Goenawan Mohamad


Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok

yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama.

Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah

revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal

perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah

perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki

kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,

atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau

duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung

krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata

yang menggerutu.


Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan

berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga

sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang

terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu

kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau

berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia

yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang

lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara

perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil

tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap

tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi,

di pangkuan seorang perempuan.


“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian

seorang ibu.”


Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di

depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat

ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk

membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me-

nyimpan kartu pos patung liberty di saku

mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard

Cohen yang parau: Dance me to the end of love.

Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di

antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang

lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah

restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal,

sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi

3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara

gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”


Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah

pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti

menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,

Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu

dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali

di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula

membenamkan akal sehat ke dalam keuangan

negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah

aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua

telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan

telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran

kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan

bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri

yang masih tertidur di sebuah kereta.


Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang

penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang

wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah

kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen-

dela kaca. Sebuah kantor majalah yang

kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang

dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan

sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta

dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya

di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau

mengubah kenangan tentang mantel yang dikena-

kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari

warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali

ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng-

gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.


“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar

kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”


Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang

sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai

dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak

tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim

hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar.

Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti.

Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah

puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di

halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum

gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk

menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai

dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya.

Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus

di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah

telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi

tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah

dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar

di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk

meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang.

Tetapi.


Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai

bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap

dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus

bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri.

Langkah yang menciptakan anak-anak tangga

daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri.

Apakah dia sedang turun – apakah dia sedang naik.

Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada

setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk

tidak mengatakan apapun tentang luka yang

tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan.

Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau

pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran

yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi

gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun

yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat

dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan

Yudhistira.


Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan

seperti dengan suara kertas koran yang diremas.

Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti

sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang

samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi

itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.


“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah

luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat,

dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin

yang mengirim garam, menjaga musim hujan di

Utara. Di sini.



Oleh :

Afrizal Malna

Friday, September 26, 2014

Antri Uang Di Bank


Seseorang datang menemui punggungku

Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,

seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.

Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku



Oleh :

Afrizal Malna

Thursday, September 25, 2014

Daftar Indeks


dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan.

Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di

sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan

memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan

temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men-

girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar

ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan

memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang

orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok

teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam

suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari

puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan

ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.



Oleh :

Afrizal Malna

Wednesday, September 24, 2014

Beri Aku Kekuasaan


Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat

juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika.

Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku

waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.

Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta

1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika

dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka

mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.

Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel

di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa

membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri

aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.

Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak,

dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata............


1991



Oleh :

Afrizal Malna

Tuesday, September 23, 2014

Ekstase Waktu


Dunia membuka dunia menutup tak jadi manusia

Aku kejar ujung jalan menyebelah maut ke mana aku kejar

Dunia sendiri tanpa manusia

Berlari

Seperti perahu tak berkemudi

Terlepas dari jarak:

Beri aku orang!

Aku mau bangun di atas kemakhlukan ini

O matahari membuka matahari menutup tak jadi manusia

Berdiri di kesunyian tubuh aku kejar ke mana aku kejar

Sampai mabuk ketinggian makhluk

Direguk sampai habis tenggorok

Jiwa membuka

Seperti api menghabiskan nyala



Oleh :

Afrizal Malna

Monday, September 22, 2014

Something That Binds

We are united in a bond

Don't know who and where

But then I know

That they will be my friend


Try to new things in a readiness

The nature, mentally and everything

Being different human

Better and better



Versi Bahasa Indonesia :  

"Sesuatu Mengikat Itu"


Kami bersatu dalam ikatan

Tidak tahu siapa dan di mana

Tapi kemudian aku tahu

Bahwa mereka akan menjadi teman saya


Cobalah hal-hal baru dalam kesiapan

Sifat, mental dan segalanya

Menjadi manusia yang berbeda

Lebih baik dan lebih baik


Oleh :

Aran Setiadi


Sunday, September 21, 2014

Penyair Anwar


Aku mengaji, anwar anwar

Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh

Orang tanah yang ditutup senja, anwar anwar

Berlari seperti kura tak henti membawa jagat

Irama abad, anwar anwar

Berdentang-dentang dalam dagingku

Minta perawan dalam sesaji langit yang jauh

Anwar membelah tubuh jadi kota mengalir

Menyimpan tanah dari hujan dan padi-padi

Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging

Dihembus pasar ke pohon-pohon sunyi

Jadi penyair seribu tahun. O

Makani Tuhan dalam kuburmu anwar anwar

Aku orang sunyi berlalu dalam cerita



Oleh :

Afrizal Malna

Thursday, September 18, 2014

Le Nausee


Buat Wing Kardjo


Jejak bulan telah hapus

Bumi tinggal rawa peradaban

Kata-kata menjadi belantara nilai

Tak terbaca. Bencana demi bencana

Bahkan pertikaian antar sesama

Telah membunuh bahasa. Sungai-sungai

Yang mengalirkan lumpur dan lahar

Sumbernya berasal dari kemarahan


Tahun-tahun lindap, abad-abad gelap

Mengekalkan kesumat. Langit merendah

Berkaca pada lembaran sejarah

Yang penuh darah. Harimau dan ular

Mengaum dan menjalar

Tak tertahan. Naik-turun gunung

Keluar-masuk hutan

Merambah dunia tanpa peta


1983



Oleh :

Acep Zamzam Noor

Tuesday, September 16, 2014

Zikir


Aku mengapung

Ringan

Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari

Dalam angin

Jumpalitan bagai ikan

Bagai lidah api


Bau busuk mulutku, Anne

Seratus tahun memanggi-manggil

Namamu


Inilah zikirku:

Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah

Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku

Tumpukan sampah keterpurukanku

Selokan mampat kesia-siaanku


Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan

Padahal lapar, tak minum padahal haus

Tak menangis padahal sedih, tak berobat

Padahal luka, tak bunuh diri

Padahal patah hati


Anne! Anne! Anne!


Zikirku seribu sepi menombakmu

Menembus lapisan langitmu, membongkar

Gumpalan megamu, membakar pusaran

Kabutmu, menghanguskan jarak

Ruang dan waktu


Aku mencair

Bagai air

Mengalir padamu. Bagai hujan   

Tumpah ke bumi

Menggelinding bagai batu

Bagai hantu


Anne! Anne! Anne!


Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan

Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku 

Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku

Semburan asap kepunahanku


Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri

Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang

Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut

Padahal punya hak, tak memaksa

Padahal putus asa


Anne! Anne! Anne!


Zikirku seribu sunyi mengejarmu

Menggedor barikade pertahananmu, menerobos

Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang

Semadimu, menghancurkan singgasana

Kekhusyukanmu


Bau busuk mulutku, Anne

Seratus tahun memanggil-manggil

Namamu



Oleh :

Acep Zamzam Noor

Monday, September 15, 2014

Rue De Rivoli


Kita melaju dalam rintik gerimis Yang menghapus semua alamat Dari ingatanku. Udara seperti

berombak Sungai memantulkan gema Napasmu gemetar Di ranting-ranting poplar

Jembatan itu mengangakan rahang Menyeret musim Yang meluncurkan perahu Dalam cuaca dingin.

Senja menjadi ajaib Di tengah kebisuanmu Dan redupnya angin

Ke sudut-sudut kafe Tak ada yang perlu dilabuhkan Kecuali jejak matahari. Sementara kau dan aku

Mungkin tak akan mengubah arah sunyi Dengan mencari kehangatan Pada gelas dan ciuman


1997



Oleh :

Acep Zamzam Noor

Sunday, September 14, 2014

Pernyataan Cinta


Kau yang diselubungi asap

Kau yang mengendap seperti candu

Kau yang bersenandung dari balik penjara

Tanganmu buntung karena menyentuh matahari

Sedang kakimu lumpuh

Aku mencintaimu

Dengan lambung yang perih

Pikiran yang dikacaukan harga susu

Pemogokan serta kerusuhan yang meletus

Di mana-mana. Darah dan air mataku tumpah

Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan

Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu

Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin

Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara

Lalu bersama mereka aku melempari toko

Membakar pasar, gudang dan pabrik

Sebagai pernyataan cinta

Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit

Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan

Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi

Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi

Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya

Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu

Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya

Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi

ke tengah-tengah kota

Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku

Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan

Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama

Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu

Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku

Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan

Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu

Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paruAku mencintaimu dengan menghisap knalpot

Dan menelan butiran peluru

Wahai kau yang diselubungi asap

Wahai kau yang mengendap seperti candu

Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin

Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin

Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu

Dengan sebotol minuman keras


1998



Oleh :

Acep Zamzam Noor

Saturday, September 13, 2014

Louvre


Cahaya remang yang melumuri trotoar berbatu Menyentuh juga tiang-tiang lampu yang berukir indah

Sepanjang jembatan itu. Seperti jemari senja yang lentik Cahaya merayapi tubuh jalanan, memanjati

dinding-dinding pualam Lalu mengaburkan diri pada pusaran kabut yang berwarna:

Paris berkilauan dalam sebuah piramida kaca


1997



Oleh :

Acep Zamzam Noor

Friday, September 12, 2014

Firenze


Ingin kulepaskan hasratku Ke pusat gairahmu Seperti peristiwa-peristiwa biasa Yang dikekalkan waktu

Menjadi patung dan lukisan. Begitu pula jalan-jalan Kaki lima yang berliku Sungai besar Jembatan

jembatan tua Patung-patung serta lampu-lampunya

Sejak kulewati sebuah kastil dengan taman bunganya Kebun anggur tumbuh di dadaku Aku berjalan

dengan lonceng di telinga Mendirikan menara bagi pendengaranku Lalu membayangkan sepasang

air mancur Di kedua tanganku. Kumasuki semua butik dan museum Hingga aku menjadi sepatu di

halaman toko buku angka-angka tahun berloncatan Hari-hari meloloskan diri Dari perangkap

kesementaraan

Sungguh ingin kulekatkan gairahku Pada bunyi lonceng Katedralmu. Seperti adegan-adegan

pertobatan Sepanjang dinding marmar yang kekal Atau dilumuri ambar dan kemiri -- Lalu aku

berjalan sendiri Ke deretan bangku-bangku kosong itu Duduk, tersedu dan membusuk Bersama sajak

sajakku


1993-1997



Oleh :

Acep Zamzam Noor