Monday, September 29, 2014
Sunday, September 28, 2014
Menggoda Tujuh Kupu-Kupu
Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita
sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya
kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata tidur. Aku tidak
berjalan dengan mata melek dan tidak mengukur yang terlihat.
Kau latihan yoga dan menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau
terbang dan tidak bisa ikut masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke-
adaan seperti gas padat dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.
Aku tidak mendengar suara ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup
menjadi mudah, karena memang hidup sudah tidak ada. Menjadi
benar oleh kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh
kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar
terbangmu. Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan
sayapnya dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama
dengan rute sungai Marne yang membelah mimpi-mimpimu.
Oleh :
Afrizal Malna
Saturday, September 27, 2014
Seminar Puisi Di Selat Sunda
Untuk Goenawan Mohamad
Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok
yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama.
Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah
revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal
perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah
perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki
kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau
duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung
krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata
yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan
berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga
sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang
terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu
kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau
berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang
lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara
perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil
tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap
tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi,
di pangkuan seorang perempuan.
“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian
seorang ibu.”
Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di
depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat
ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk
membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me-
nyimpan kartu pos patung liberty di saku
mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di
antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang
lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah
restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal,
sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi
3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara
gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”
Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah
pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti
menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,
Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali
di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula
membenamkan akal sehat ke dalam keuangan
negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah
aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua
telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan
telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran
kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan
bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri
yang masih tertidur di sebuah kereta.
Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang
penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang
wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah
kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen-
dela kaca. Sebuah kantor majalah yang
kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang
dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan
sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta
dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya
di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau
mengubah kenangan tentang mantel yang dikena-
kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari
warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali
ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng-
gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.
“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar
kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”
Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang
sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai
dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak
tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim
hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar.
Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti.
Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah
puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum
gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk
menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai
dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya.
Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus
di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah
telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi
tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah
dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar
di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk
meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang.
Tetapi.
Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai
bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap
dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus
bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri.
Langkah yang menciptakan anak-anak tangga
daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri.
Apakah dia sedang turun – apakah dia sedang naik.
Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada
setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk
tidak mengatakan apapun tentang luka yang
tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan.
Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau
pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran
yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi
gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun
yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat
dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan
Yudhistira.
Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan
seperti dengan suara kertas koran yang diremas.
Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti
sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang
samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi
itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.
“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah
luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat,
dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin
yang mengirim garam, menjaga musim hujan di
Utara. Di sini.
Oleh :
Afrizal Malna
Friday, September 26, 2014
Antri Uang Di Bank
Seseorang datang menemui punggungku
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku
Oleh :
Afrizal Malna
Thursday, September 25, 2014
Daftar Indeks
dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan.
Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di
sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan
memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan
temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men-
girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar
ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan
memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang
orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok
teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam
suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari
puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan
ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.
Oleh :
Afrizal Malna
Wednesday, September 24, 2014
Beri Aku Kekuasaan
Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat
juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika.
Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku
waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.
Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta
1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika
dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka
mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.
Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel
di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa
membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri
aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.
Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak,
dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata............
1991
Oleh :
Afrizal Malna
Tuesday, September 23, 2014
Ekstase Waktu
Dunia membuka dunia menutup tak jadi manusia
Aku kejar ujung jalan menyebelah maut ke mana aku kejar
Dunia sendiri tanpa manusia
Berlari
Seperti perahu tak berkemudi
Terlepas dari jarak:
Beri aku orang!
Aku mau bangun di atas kemakhlukan ini
O matahari membuka matahari menutup tak jadi manusia
Berdiri di kesunyian tubuh aku kejar ke mana aku kejar
Sampai mabuk ketinggian makhluk
Direguk sampai habis tenggorok
Jiwa membuka
Seperti api menghabiskan nyala
Oleh :
Afrizal Malna
Monday, September 22, 2014
Something That Binds
We are united in a bond
Don't know who and where
But then I know
That they will be my friend
Try to new things in a readiness
The nature, mentally and everything
Being different human
Better and better
Versi Bahasa Indonesia :
"Sesuatu Mengikat Itu"
Kami bersatu dalam ikatan
Tidak tahu siapa dan di mana
Tapi kemudian aku tahu
Bahwa mereka akan menjadi teman saya
Cobalah hal-hal baru dalam kesiapan
Sifat, mental dan segalanya
Menjadi manusia yang berbeda
Lebih baik dan lebih baik
Oleh :
Aran Setiadi
Sunday, September 21, 2014
Penyair Anwar
Aku mengaji, anwar anwar
Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang ditutup senja, anwar anwar
Berlari seperti kura tak henti membawa jagat
Irama abad, anwar anwar
Berdentang-dentang dalam dagingku
Minta perawan dalam sesaji langit yang jauh
Anwar membelah tubuh jadi kota mengalir
Menyimpan tanah dari hujan dan padi-padi
Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembus pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi penyair seribu tahun. O
Makani Tuhan dalam kuburmu anwar anwar
Aku orang sunyi berlalu dalam cerita
Oleh :
Afrizal Malna
Thursday, September 18, 2014
Le Nausee
Buat Wing Kardjo
Jejak bulan telah hapus
Bumi tinggal rawa peradaban
Kata-kata menjadi belantara nilai
Tak terbaca. Bencana demi bencana
Bahkan pertikaian antar sesama
Telah membunuh bahasa. Sungai-sungai
Yang mengalirkan lumpur dan lahar
Sumbernya berasal dari kemarahan
Tahun-tahun lindap, abad-abad gelap
Mengekalkan kesumat. Langit merendah
Berkaca pada lembaran sejarah
Yang penuh darah. Harimau dan ular
Mengaum dan menjalar
Tak tertahan. Naik-turun gunung
Keluar-masuk hutan
Merambah dunia tanpa peta
1983
Oleh :
Acep Zamzam Noor
Tuesday, September 16, 2014
Zikir
Aku mengapung
Ringan
Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari
Dalam angin
Jumpalitan bagai ikan
Bagai lidah api
Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggi-manggil
Namamu
Inilah zikirku:
Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah keterpurukanku
Selokan mampat kesia-siaanku
Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan
Padahal lapar, tak minum padahal haus
Tak menangis padahal sedih, tak berobat
Padahal luka, tak bunuh diri
Padahal patah hati
Anne! Anne! Anne!
Zikirku seribu sepi menombakmu
Menembus lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan megamu, membakar pusaran
Kabutmu, menghanguskan jarak
Ruang dan waktu
Aku mencair
Bagai air
Mengalir padamu. Bagai hujan
Tumpah ke bumi
Menggelinding bagai batu
Bagai hantu
Anne! Anne! Anne!
Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan
Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku
Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan asap kepunahanku
Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut
Padahal punya hak, tak memaksa
Padahal putus asa
Anne! Anne! Anne!
Zikirku seribu sunyi mengejarmu
Menggedor barikade pertahananmu, menerobos
Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu, menghancurkan singgasana
Kekhusyukanmu
Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggil-manggil
Namamu
Oleh :
Acep Zamzam Noor
Monday, September 15, 2014
Rue De Rivoli
Kita melaju dalam rintik gerimis Yang menghapus semua alamat Dari ingatanku. Udara seperti
berombak Sungai memantulkan gema Napasmu gemetar Di ranting-ranting poplar
Jembatan itu mengangakan rahang Menyeret musim Yang meluncurkan perahu Dalam cuaca dingin.
Senja menjadi ajaib Di tengah kebisuanmu Dan redupnya angin
Ke sudut-sudut kafe Tak ada yang perlu dilabuhkan Kecuali jejak matahari. Sementara kau dan aku
Mungkin tak akan mengubah arah sunyi Dengan mencari kehangatan Pada gelas dan ciuman
1997
Oleh :
Acep Zamzam Noor
Sunday, September 14, 2014
Pernyataan Cinta
Kau yang diselubungi asap
Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh
Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan air mataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan
Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka aku melempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta
Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit
Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu
Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota
Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku
Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu
Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paruAku mencintaimu dengan menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru
Wahai kau yang diselubungi asap
Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras
1998
Oleh :
Acep Zamzam Noor
Saturday, September 13, 2014
Louvre
Cahaya remang yang melumuri trotoar berbatu Menyentuh juga tiang-tiang lampu yang berukir indah
Sepanjang jembatan itu. Seperti jemari senja yang lentik Cahaya merayapi tubuh jalanan, memanjati
dinding-dinding pualam Lalu mengaburkan diri pada pusaran kabut yang berwarna:
Paris berkilauan dalam sebuah piramida kaca
1997
Oleh :
Acep Zamzam Noor
Friday, September 12, 2014
Firenze
Ingin kulepaskan hasratku Ke pusat gairahmu Seperti peristiwa-peristiwa biasa Yang dikekalkan waktu
Menjadi patung dan lukisan. Begitu pula jalan-jalan Kaki lima yang berliku Sungai besar Jembatan
jembatan tua Patung-patung serta lampu-lampunya
Sejak kulewati sebuah kastil dengan taman bunganya Kebun anggur tumbuh di dadaku Aku berjalan
dengan lonceng di telinga Mendirikan menara bagi pendengaranku Lalu membayangkan sepasang
air mancur Di kedua tanganku. Kumasuki semua butik dan museum Hingga aku menjadi sepatu di
halaman toko buku angka-angka tahun berloncatan Hari-hari meloloskan diri Dari perangkap
kesementaraan
Sungguh ingin kulekatkan gairahku Pada bunyi lonceng Katedralmu. Seperti adegan-adegan
pertobatan Sepanjang dinding marmar yang kekal Atau dilumuri ambar dan kemiri -- Lalu aku
berjalan sendiri Ke deretan bangku-bangku kosong itu Duduk, tersedu dan membusuk Bersama sajak
sajakku
1993-1997
Oleh :
Acep Zamzam Noor
Subscribe to:
Posts (Atom)