Sunday, August 31, 2014

In Memoriam Amir Hamzah


Keranjang itu masih menatap. Tahun mau berbunga

Tapi langit berangkat kemarau di jendela


Tanganmu: Mulut yang mengucapkan kebenaran ombak

Tapi pendayung-pendayung datang terlambat


Kita jenguk ke air. Obor itu menyalakan malam

Angin itu angin kita. Tapi tak menghembus sampai senja

            lain tiba.



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Saturday, August 30, 2014

Gnoti Seauton


Manusia bebas, ruhnya bagai

firman Tuhan, embun dalam cuaca putih

mencucinya

Manusia bebas, ruhnya berjalan

ke tempat-tempat jauh dan menemui para nabi dan orang suci


Di muka laut, ditemuinya batu karang

dan awan buruk


Manusia bebas, ruhnya bagai

rantai emas yang dibelenggu matahari dan waktu


Di tengah alam yang sempit: Nasib

menyesak jantung dan tenggorokan

dan menimbulkan batuk dan dahak kotor

di tengah alam yang sempit: Kita

mencari puncak kenikmatan


Manusia bebas, ruhnya mencari

bayang-bayang Tuhan


gambar binatang

perwujudan dewa-dewa

yang putus asa


Di gerbang kuil besar:

Ruh terbang dan tidak kembali



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Thursday, August 28, 2014

Merdeka? Mana? (Sebuah Puisi Kemerdekaan)


...

Indonesia raya. Merdeka! Merdeka!

Tanahku, negeriku, yang kucinta.

Indonesia raya. Merdeka! Merdeka!

Hiduplah Indonesia raya...


Sepi. Khidmat.

Lagu di atas dinyanyikan penuh semangat

Pandangan lurus badan tegap

Jari-jari tangan kanan terangkat

Menempel pada alis di bawah jidat


Seorang pemimpin berpidato lantang

Di tengah lapangan gersang

Di sekolah, kantor, maupun sudut jalan

Di desa, kota, dan di mana saja


Seorang pemimpin berteriak menjulang

Di tengah lapangan gersang,

Atau di tengah hati yang gersang?

Merdeka! Katanya.

Ha. Ha. Ha.


Merdeka? Itu sudah purba sekali.

Lihat saja sekarang, kekacauan masih berseliweran.

Rampok-rampok keadilan dengan ketidak-adilan,

Perkosa diri dengan palsu janji-janji,

Lalu kemerdekaan macam apa yang hendak kau berikan?


Merdeka. Apanya?

Ketika hendak mengeluarkan pendapat saja dilarang,

Ketika hendak turun ke jalan saja dikekang,

Ketika atas hak kami, kau ciptakan batasan.

Lalu kemerdekaan mana yang kau katakan?


Merdeka? Mana?

Anak yatim kaki berkapal tak bersandal

Merengsot ke jalan membanting tulang

Untuk mencium aroma buku pelajaran

Berharap suatu saat mencecap bangku di depan papan tulis hitam


Merdeka? Mana?

Kota-kota besar diperhatikan

Desa kecil terpencil dianak-tirikan

Para berdasi semakin konglomerat

Para tak beralas kaki semakin melarat


Merdeka? Mana?

Kaum elit impor sini impor sana

Karya anak bangsa dipandang sebelah mata

Kaum trendi malu dengan bahasa sendiri

Katanya bahasa luar lebih bergengsi


Kemerdekaan adalah anak kecil yang merasa besar,

Anak tak bertuan yang merasa bertuan

Anak bangsa yang merasa mempunyai bangsa,

Yang dibanggakan.


...Indonesia raya. Merdeka! Merdeka!

Tanahku, negeriku, yang kucinta...


Ah, ini nyanyian bukan sembarang nyanyian.

Ini adalah nyanyian dari semangat yang tak pernah padam,

Ini adalah nyanyian kebanggan, nyanyian kemerdekaan.

Aku bernyanyi dengan mata basah

Tuhan...

Semoga hormat kami hari ini,

Bukan sekadar hormat ritual keramat tahunan,

Jadikan hormat kami hari ini,

Sebagai hormat yang kami lakukan,

Atas dasar hati yang penuh dengan kebanggaan.


...Indonesia raya. Merdeka! Merdeka!

Hiduplah Indonesia raya.

Dirgahayu untukmu,

Negeriku. Indonesiaku.



Oleh :

Tri C Fakhri

Wednesday, August 27, 2014

Anak


Anak ingin menangkap gelombang

rambutnya memutih seketika


Ia mengerti laut dalam

tapi tak tahu di mana suaranya terpendam


Ketika angin berhembus

bahkan dahan-dahan pun diam


Ketika air surut

bahkan pasang pun tak karam


Ketika tidur merenggut

di langit tak sebutir bintang



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Tuesday, August 26, 2014

Bahkan


Bahkan jarum jam pun hanya mengulang

andai detiknya bukan kejemuan, kau tangkap

keluh bumi seperti anak yang tak habis berharap

dan mata kecilnya yang gelisah

memandang laut hanya dunia garam dan ikan-ikan


Bayang-bayangmu juga

yang susut karena lampu di pelupukmu padam

Lebih menjemukan dari rembang petang

Tapi berangkatlah!

Di seberang gelombang mungkin udara terang



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Sunday, August 24, 2014

Angin Mendesir Lagi


Angin; mendesir lagi

Hampir mengantuk

Ada sepi

Berbisik di dahan-dahan pohon

Lagi tahu, gerimis turun


Di luar kamar yang tembaga

Di luar rongga kata

Engkau gemetar karena musim

Cemas dalam kata

Dan tahu: ada yang tiada

Bangkit di jendela


Dan mungkin: senja



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Saturday, August 23, 2014

Meditasi


Itulah bidadari Cina itu, dengan seekor kilin

dan menyeret kainnya basah: menggigil dalam kuil

(daun-daun salam berguguran dan di beranda

masih terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia

menunjukkan yin-yang yang kabur di atas pintu

dan di mataku terasa hembusan angin yang merabunkan

(lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita ke tempat sepi

di mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati

dalam pertempuran merebut kota dari desa) Angin

berlarian menghamburkan bau-bauan dari tangan

perempuan-perempuan yang wangi dan kedinginan

di atas gapura yin-yang yang mulai memuat lumut

dengan tulisan-tulisan tua yang tak terbaca sudah

(langit adalah bayang-bayang, kau menyesal

telah memimpikannya; dan di sebelahnya

berdiri gedung, beribu sungai dan tebing gunung

yang terbuat dari batu, anggur dan lempung

yang kini menampakkan bintang kemukus yang panjang)


Itulah bidadari Cina itu dan mendekat ke arahmu

memandang dinding dan bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti

(ia membeku jadi arca, waktu tentara kaisar mulai

membangun kota di langit) dan beribu mantra

memenuhi telinganya yang tuli



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Thursday, August 21, 2014

Exodus


Menyandang beban sunyi ini di sini

Menyandang beban salib ini di sini

Menyandang kehilangan

Yang seakan

Genderang mainan dipukul ombak


Di antara teluk dan pasir pantai

Serta senja yang menutup dinding laut ini

Kau mencari

Jejak nelayan

Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan

Sudah jarang dikunjungi kapal-kapal


Menyandang sepi ini di sini

Menyandang kesal pikiran dan kekacauan ini

Menyandang mainan

Yang diberai ombak, senja, teluk dan pasir hitam

Seakan pecahan batu karang pada pantai yang legam


Kau mencari

Jejak nelayan

Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan

Sudah jarang dikunjungi pelaut


Burung-burung pantai pergi, senja pergi

Tinggal genderang mainan ini

Berbunyi dan berbunyi juga

Dan betapa dekatnya sekarang

Hari haus dan lapar kita

Betapa dekatnya



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Wednesday, August 20, 2014

Sajak Putih


Kita telah menjadi sekedar kenangan

lembaran asing pada buku harian

seperti tak pernah kautuliskan

peristiwa itu


Bunga-bunga sudah berguguran

tangkai dan kelopaknya

Pohon-pohon kering

Dan jendela jadi kusam

Seperti senja bakal tenggelam


Dan Titi telah semakin tua

meninggalkan masa kanak-kanaknya

Seakan cairan lilin

yang mengental

jadi malam


Dan masa-masa cintamu

hanyalah onggokan

puntung rokok

di lantai

yang dingin


Dan dengan pot-pot bunga

betapa asingnya

Kita



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Tuesday, August 19, 2014

Tuhan, Kita Begitu Dekat


Tuhan,

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu


Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu


Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya


Kita begitu dekat


Dalam gelap

kini aku nyala

dalam lampu padammu



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Monday, August 18, 2014

Fragmen


Belumkah ada lindap sebelum

kau kembali ke kamar

yang suram dan kutandai musik beku?

Bayangan itu jadi gerimis

dan meleleh di kebon rumah yang gelap


Aku jadi garang pada malam seperti itu

dan ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin

seperti juga hujan di padang-padang

dengan ringkik kuda yang memburu mega terbit


Rampungkan sepimu dan matangkan dagingmu

sampai jadi lengkap perjalanan kita nanti

pelancongan menuju dunia tanpa penyesalan

hingga pada suatu hari nanti

aku tak lagi bermimpi

tentang gua di rimba perburuan itu



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Sunday, August 17, 2014

Madura


Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu

ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal

dan sampan yang tenggelam di pintu cakrawala

Selamat pagi tanah kelahiran

Sebab aku tak menghitung untuk ke berapa kali

Kapan saat menebal pada waktu

Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu

Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian

Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat

dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan

dengan kerja serta dengan kehidupan?

Aku akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:


Ketenangan Selat Kamal

adalah ketenangan hatiku

membuang pikiran dangkal

yang mengganggu sajakku


kurangkul tubuh alam

seperti mula kelahiran Adam

sedang sesudah mengembara

baiklah kita rahasiakan


dari perjalanan ini

aku membawa timbun puisi

bahwa aku selalu asyik mencari

keteduhan mimpi


kebiruan Selat Kamal

adalah kebiruan sajakku

dan terasa hidup makin kekal

sesudah memusnah rindu


bertemu segala milik dan hak

dalam cinta dan sajak

noktah-noktah berdebu di bersihkan

di kedua tangan


kuberi pula salam sayup

kepada pantai yang berbatas pasir

dan langit yang mulai redup

pada waktu sajak lahir


Kedangkalan Sungai Sampang

adalah kedangkalan hatiku

menimbang hidup terlalu gamang

dan di situ ketergesaan mengganggu


dan terlalu tamak

dengan kesempurnaan

dengan sesuatu yang bukan hak

dengan kejemuan


tetapi sekali saat tiba juga

pada suatu tempat

tanpa petunjuk siapa-siapa

asal kita bersempat


mengerti juga kenapa kiambang

bertaut sepanjang sungai

dengan belukar dan kembang-kembang

sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya


Diamnya Sungai Sampang

adalah diamnya sajakku

sekali waktu banjir datang

sekali waktu airnya biru


dan bertetap tujuan

ke suatu muara

yang berasal dari suatu daerah pegunungan

untuk sumber pertama


Kerendahan Bukit Payudan

adalah kerendahan hatiku

menerima nasib dalam kehidupan

di atas kedua bahu


sesekali pernah kita

tidak tahu tentang kelahiran

dan bertakut menjadi tua

karena ancaman kematian


Keramahan Bukit Payudan

adalah keramahan sajakku

untuk mengerti kepastian

yang lebih keras dari batu


sesekali pernah kita

tidak tahu ke mana mengembara

kemudian muncul kembali di tanah kesayangan

dengan kehampaan di tangan


tak seorang menyambut datang

tak seorang menanti pulang

tak seorang menerima lapang

atau membacakan tembang-tembang


dan kesia-siaan begini

akan selalu kualami

namun tak selalu kusesali

sebab kubenam sebelum jadi


Keterpencilan desa Pasongsongan

adalah keterpencilan hatiku

sebelum memulai perjalanan

ke jauh kota dan pulau


tapi keabadian lautnya kini

telah mengembalikan cintaku

tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti

dan ditinggalkan rasa kebanggaanku


dan sebagai anak manusia

sekali aku minta istirah mengembara

berhenti membuat puisi yang mendera

dan berhenti memikat dara-dara


sebab di sinilah tumpahnya

darah kita pertama

dan terakhir berhentinya

mengaliri nadinya



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari

Saturday, August 16, 2014

Sajak Samar


Ada yang memisah kita, jam dinding ini

ada yang mengisah kita, bumi bisik-bisik ini

ada. Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum pergi

tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri


Oleh : 

Abdul Hadi Wiji Muthari

Friday, August 15, 2014

Barat dan Timur


Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha,

Pengikut Zen dan Tao

Semua adalah guruku

Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani

Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala

Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya

Ya, semua adalah guruku

Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra,

 Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah

Tapi hanya di masjid aku berkhidmat

Walau jejak-Nya

Kujumpai di mana-mana.



Oleh :

Abdul Hadi WIji Muthari

Thursday, August 14, 2014

Dalam Pasang


Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi?

Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian,

ketakutan dan perang saudara

Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya

Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan

Menunggu ketakpastian

Telah mereka hancurkan rumah harapan kita

Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita

Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi

tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi

Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini

yang bisa menghanguskan kota ini lagi

- Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi

Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api

Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi


Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi

Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi


Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin

Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin

Kita....



Oleh :

Abdul Hadi Wiji Muthari